
Takasitau
Di media sosial X (Twitter), Tiktok dan Instagram, sedang ramai tren (hashtag) #KaburAjaDulu. Tren melarikan diri dari situasi dan kondisi negara yang sedang tidak baik-baik saja atau tidak karuan, seperti apa yang dikeluhkan beberapa akun X. BBC di X melaporkan wawancara beberapa orang yang sudah 'pindah' ke luar negeri, salah satunya Joseph Pradipta yang bekerja di Korea Selatan, bahwa: 'Tahun 2019, (saya) melihat dan mencium bau-bau aneh, itu engga salah. Ya terbukti sekarang'. Di masyarakat menengah ke bawah, ini mewakili kekawatiran nyata kehidupan sehari-hari, sementara menengah atas, bagai simbol dukungan aksi melihat masa depan negara yang suram.
Seperti diberitakan berhari-hari, kita baru saja diserbu oleh berbagai upaya pemerintah menambal cicilan hutang yang akan jatuh tempo akhir tahun ini yang besar. Akibatnya, UKT (uang kuliah), PPN, pengaturan BPJS yang mulai ketat dan memberatkan, pemotongan anggaran Kementrian (termasuk pendidikan dan riset) dan instansi serta sektor swasta juga tidak baik-baik saja. Misal Sritek yang terancam pailit dan PHK bedsar-besaran, juga beberapa start-up yang gagal tumbuh atau terjadi fraud, seperti e-fishery. Dilaporkan betapa persaingan dari usaha eceran dan emperan begitu dahsyat, setiap saat muncul pelaku di sektor informal: toko, warung, penjual makanan dan sandang, sudah berlangsung dalam beberapa tahun, tapi tahun belakangan ini makin menjadi.
Terjadinya deflasi berturut-turut, bulan sebelum ramai hashtag ini, mengisyaratkan banyaknya PHK dan ekonomi tidak tumbuh baik. Ditambah pemotongan/penghematan anggaran negara secara tidak langsung mendorong pemutusan kerja dan menutup peluang pekerjaan. Tidak juga mudah bagi sektor swasta tumbuh dengan bunga acuan yang cukup tinggi dan ormas serta bekingan yang marak, biaya ekonomi menjadi bengkak. Bahkan, investor yang digadang-gadang masuk-pun lolos dari tangkapan dan mengalir ke Malaysia dan Vietnam. Padahal bunga acuan bank mereka lebih kecil dari kita, kementriannya juga tidak lebih banyak.
Diibaratkan banyak yang kabur dari upaya perangkap atau jeratan. Dibayangi peluang kerja menyempit, gaji kecil namun penarikan pajak agresif baik PPN dan PPHnya. Berusaha menjadi wiraswasta mandiri pun keuntungan tipis yang akhirnya berujung upah itu sendiri tergencet oleh biaya operasional dan ekonomi karena termakan hitungan bunga dari produk turunan yang dipakai dan biaya hantu ormas atau tidak resmi lainnya. Namun sepertinya pemerintah tidak sensitif karena dibiarkan bertahun-tahun dan bisa jadi ormas-ormas ini sebagai cadangan suara pemilihan pemimpin di DPR/D dan pemerintah. Nah saatnya kabur bagi anak muda ke luar negeri dianggap solusinya.
Pemikiran anak muda lebih pragmatis lagi. Menurutnya, hidup di Indonesia tidak menjanjikan masa depan. Seperti dilangsir pada diskusi Live di KompasTV, 'ROSI eps. Kenapa Harus #KaburAjaDulu?'. Rosianna Silalahi mengundang Muhammad Yorga Permana, Dosen Sekolah Bisnis dan Manajemen ITB. Dr Yorga Permana adalah dosen peneliti, tenaga kerja Sekolah Bisnis dan Manajemen ITB yang menempuh pendidikan masternya di TU-Eindhoven, Belanda dan pendidikan doktoralnya di LSI Inggris.
Anak-anak muda ini masih kritis melihat bahwa ada yang salah dengan kondisi kebijakan-kebijakan (pemerintah) dan kondisi sosial-politik yang belum terasa hasilnya sampai saat ini dan akan mempengaruhi ketidakpastian masa depan mereka. Tingginya tingkat pengangguran dan rendahnya upah yang mereka keluhkan bahwa meskipun telah berusaha keras hasil yang didapat tidak sebanding dengan usaha yang dikeluarkan. Jadi mereka melihat bahwa setinggi apapun misalnya sekolah mereka dan semahal apapun orang tua mereka harus mengeluarkan uang untuk biaya kuliah, tapi itu tidak langsung berpengaruh linear terhadap upaya mendapatkan pekerjaan.
Ditambah ucapan Bahlil tentang migrasi ke luar negeri juga menjadi viral di tengah isu ini, yang menganggap anak muda yang kabur, nasionalismenya diragukan. Ucapan yang tiga tahun lalu dianggap masih relevan sehingga dimunculkan kembali setelah viral gas 3 kg dan hastag #KaburAjaDulu. Mungkin ada kekawatiran, terjadi brain drain, jika memang anak muda yang keluar itu potensial. Namun jika tidak ada kesempatan atau peluang menjanjikan yang sebanding dengan potensi pribadinya di dalam negeri, ini sebuah pilihan sangat rasional.
Menurut Yorga dalam Live di Rosa, bahwa ada sebagian yang setuju bahwa kabur aja dulu dilihat sebagai sesuatu yang positif. Kita menyebutnya knowledge worker atau high skill worker atau ekerja berketerampilan tinggi yang memang punya kapasitas untuk berkarya di luar negeri. Tapi itu identik dengan brain drain bahwa anak-anak muda yang punya skill tinggi dan inovasi merasa dirinya tidak dihargai. Ya udah kabur aja dulu.
Namun, bukan hal mudah dan santai bekerja di luar negeri. Yorga menceritakan, ada seorang profesional, teman seorang eksekutif di Singapura bekerja di sebuah perusahaan startup, dia mengatakan tidak ada loyalties di di perusahaan-perusahaan terkemuka di Singapura itu hanya sebatas 3 - 4 tahun. "Saya bilang wow Kenapa (kamu) kutu loncat ya". Karena di Singapura kompetisinya luar luar biasa ketat. Ada yang pepatah mengatakan move up or move out.
Menambahkan, jadi kalau tidak bisa terus berkompetisi untuk naik kelas, mereka akan diberhentikan (get fired). Termasuk kampus. Di kampus luar negeri, tuntutan untuk publikasi di jurnal yang bereputasi itu besar, bukan hanya scopus. Ini tantangan buat dosen adalah riset, artinya menjadi dosen misalnya profesor di luar negeri (nampak) enak namun tidak semudah itu, ada merit base, (sistem) meritokrasi, dia harus (membuat) publikasi, harus kerja keras agar posisinya bisa terus naik.
Yorga belum sepakat dengan konsep keep braining untuk Indonesia (saat ini). Mungkin 20 - 30 tahun lagi (semoga bisa) relevan. Itu saatnya memanggil diaspora, 'Ayo segera pulang'. Tapi hari ini proporsi diaspora Indonesia dibandingkan China. Taiwan, India sangat kecil. Ada konsep Brain circulation alih-alih sebutan brain drain. Brain Circulation ini kemudian menciptakan anak-anak pintar kita merebut nilai dan membangun network. Banyak periset yang cerita bagaimana Taiwan menjadi kekuatan semi-konduktor di tahun 1970 itu, ketika saintis-saintis (bergelar) Phd yang sebetulnya berada di Amerika, kemudian mereka pulang, tapi mereka (sebelumnya) sudah membangun ekosistem itu di Amerika. India, contohnya misalkan Satya Nadella, CEO Microsoft yang berhasil meningkatkan valuasinya. Itu hanya satu contoh saja dari banyak middle manager di Amerika itu dari India dan mereka men-subkon pekerjaannya ke Bangalor di India.
Pertanda #KaburAjaDulu, hanya fenomena dari masalah besar yang masih tersembunyi. Seperti pepatah lama, bagai gunung es di lautan, memendam masalah besar yang tidak terlihat dan kapal negara yang akan lewat mesti sangat berhati-hati agar tidak menabrak dan karam. Jangan sampai nahkodanya ugal-ugalan, tidak memahami masalah besar menghadang bagi kapal besar Indonesia yang diisi warga berjubelan dan sekelompok politisi elit hanya memikirkan bagaimana cara membuat kemenangan Pemilu 4 tahun yang akan datang.
Cek fakta-fakta di link berikut:
(Jkt, 15/02/25 - updated 15/02/25 - refined 17/02/25) - NEW