Jokowi Jadi Nominasi Pemimpin 'Corrupt ' versi OCCRP

Bagaimana Mengaitkan dengan buku 'Why Nations Fail ?'

Why Nations Fail: menjelaskan tentang Asal-usul Kekuasaan, Kemakmuran, dan Kemiskinan. Penulisnya  berargumen bahwa pembangunan ekonomi dan kemakmuran atau kemiskinan suatu negara dapat ditelusuri kembali semata-mata pada ‘institusi, institusi, institusi

Dan banyak pemimpin di dunia ketiga secara sengaja ataupun adanya ketidaksadaran, mendorong institusi negara menjadi ekstraktif demi ambisi pribadi dan kelompoknya. Bagaimana kaitan antara Joko Widodo sewaktu masih menjabat dan perannya dalam mengubah institusi publik? Semoga menjadi pelajaran bangsa ini agar kembali mengembalikan marwah semua institusi publik menjai inklusif.


Klik tautan berikut untuk menuju ke (bawah):

Daftar Isi

Takasitau dari Berbagai Sumber

Para panel juri Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) yang terdiri dari masyarakat sipil, akademisi, dan jurnalis, yang semuanya memiliki pengalaman luas dalam menyelidiki korupsi dan kejahatan. Telah membuat nominasi (menerima lebih dari 55.000 nominasi) termasuk beberapa tokoh politik yang paling terkenal dan juga individu-individu yang kurang dikenal. 


Nominasi Oleh OCCRP


Salah satu nominasi tahun ini adalah Mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Penetapan nominasi ini menjadi polemik, banyak yang mendukung juga banyak yang menyangkal, bagaimanapun bisa diamati guratan kuku Jokowi membekas dalam 10 tahun khususnya periode kedua pemerintahannya, yang diartikan oleh masing-masing kubunya, sebagai prestasi ataupun sebaliknya sebagai hal memalukan. Momen titik balik balik Jokowi ketika secara khusus memanggil pimpinan KPK saat itu, Agus Raharjo untuk menghentikan kasus e-KTP Setya Novanto (pimpinan DPR). Sejak saat itu tidak ragu melakukan intrik dan loncatan sekaligus juga menutupinya membuat citra dirinya pro rakyat dengan hura-hura pertunjukan di berbagai acara resmi atau kunjungan negara seolah menempatkan dirinya sebagai pimpinan yang handal. Intrik dan kontrol akhirnya mengakibatkan institusi terdistorsi. Tidak hanya institusi, namun juga politisi dan partai politik, seakan disandera dengan data intelejen.


Dalam artikel ini, berusaha mengkaitkan tindakan Jokowi serta circle nya, dengan isi buku 'Why Nations Fail' yang menjadi keprihatinan. Silakan baca e-book: 'Mengapa 'Suatu' Bangsa Gagal, Tinjauan Buku ‘Why Nations Fail’ dari Berbagai Sumber di link bawah atau di halaman artikel.


Baru-baru ini OCCRP mengumumkan Bashar al-Assad sebagai “Tokoh Tahun Ini”, sebuah penghargaan yang menyoroti individu dalam memajukan kejahatan dan korupsi secara global sehingga merusak demokrasi dan hak asasi manusia.


Dalam websitenya, bahwa OCCRP tidak memiliki kendali atas siapa yang dinominasikan, karena usulan-usulan tersebut datang dari seluruh dunia. Hal ini termasuk pencalonan mantan presiden Indonesia Joko Widodo. OCCRP memasukkan dalam nominasi “finalis” mereka yang mendapatkan dukungan online terbanyak dan memiliki dasar untuk dimasukkan. 


Lanjutnya, OCCRP tidak memiliki bukti bahwa Jokowi terlibat dalam korupsi untuk keuntungan finansial pribadi selama masa kepresidenannya, namun, kelompok-kelompok masyarakat sipil dan para ahli mengatakan bahwa pemerintahan Jokowi secara signifikan melemahkan komisi anti-korupsi Indonesia. Jokowi juga dikritik secara luas karena melemahkan lembaga-lembaga pemilihan umum dan peradilan di Indonesia demi kepentingan ambisi politik putranya, yang kini menjabat sebagai wakil presiden di bawah presiden baru Prabowo Subianto.


Para hakim menghargai nominasi warga negara, tetapi dalam beberapa kasus, tidak ada cukup bukti langsung mengenai korupsi yang signifikan atau pola pelanggaran yang telah berlangsung lama,” kata Penerbit OCCRP, Drew Sullivan. “Namun, jelas ada persepsi yang kuat di kalangan masyarakat tentang korupsi dan ini seharusnya menjadi peringatan bagi mereka yang dicalonkan bahwa masyarakat mengawasi, dan mereka peduli. Kami juga akan terus mengawasi."


Beberapa Media Luar


South China Morning Post, dipublikasikan 4 Januari 2025, menyoroti hal ini dalam tajuk yang ditranslasikan: 'Jokowi mengecam laporan 'tak berdasar' yang menyebutnya sebagai pelaku korupsi terbesar di Indonesia'. “Korupsi? Korupsi apa? Apa buktinya? Buktikan saja,” kata Jokowi kepada para wartawan pada hari Selasa di kediamannya di Solo, Jawa Tengah. “Ada begitu banyak fitnah, framing yang jahat, dan tuduhan yang tidak berdasar saat ini. Itulah yang terjadi."


CNA (Channel News Asia), 3 januari 2025, yang berkedudukan di Singapura memberitakan, Polisi Indonesia berada di bawah tekanan untuk menyelidiki mantan presiden Joko Widodo atas tuduhan korupsi. Hal ini terjadi setelah sebuah organisasi nirlaba internasional yang beranggotakan para jurnalis investigasi mengumumkan bahwa Joko Widodo adalah finalis Orang Paling Korup Tahun 2024. Gelar juara akhirnya jatuh ke tangan mantan presiden Suriah Bashar al-Assad.


The Australian, 2 Januari 2025, dalam artikel: Indonesia’s Widodo ‘among world’s most corrupt leaders’. Bahwa Joko Widodo mengklaim bahwa dirinya telah difitnah setelah ia dimasukkan ke dalam daftar bersama para pemimpin Afrika dan presiden Suriah yang digulingkan oleh sebuah organisasi jurnalisme internasional.


Banyak analis menyebutkan bahwa temuan-temuan yang mencerminkan kemunduran yang signifikan dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia selama masa jabatannya. Namun tidak hanya bidang anti-korupsi, juga bidang ketatanegaraan dan hukum, banyak tindakan akrobat yang melangkahi atau membuat trik hukum dan aturan.


Tinjauan YLBHI Tentang Jokowi sehubungan Penetapan Nominasi di OCCRP


YLBHI mempublikasikan artikel, 3 Januari 2025, sehubungan dengan penetapan Jokowi sebagai Nominasi Pemimpin Corrupt oleh OCCRP: 10 Faktor Jokowi Layak Disebut Pemimpin Korup dan Pelanggar Hukum dan HAM terorganisir. YLBHI memandang bahwa label tokoh paling koruptif sepanjang tahun 2024 yang dirilis oleh OCCRP memiliki dasar kuat. 

10 Faktor tersebut:


1. Pelemahan KPK Secara Sistematis

2. ⁠Revisi Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara (2020)

3. ⁠Omnibus Law dan Pengabaian Check and Balances

4. ⁠Rezim Nihil Meritokrasi

5. ⁠Menghidupkan Kembali Dwifungsi Militer

6. ⁠Badan Usaha Milik Negara menjadi Badan Usaha Milik Relawan

7. ⁠Intelijen untuk Kepentingan Politik

8. ⁠Represi dan Kriminalisasi

9. Proyek Strategis Nasional Merampas ruang hidup rakyat

10. ⁠Nepotisme Kekuasaan 


Lihat lebih lengkap di link di bawah.


Meninjau  Institusi Inklusif vs Ekstraktif


Pembahasan institusi yang ekstraktif dan inklusif dalam institusi ekonomi dan politik adalah teori yang terus diulang dalam buku Why Nations Fail, penulis menekankan pentingnya institusi. Di sepanjang buku ini, penulis sangat konsisten dengan posisi bahwa pendekatan institusi (kelembagaan) inklusif akan membangun negara yang makmur, sedangkan pendekatan kelembagaan yang ekstraktif tidak akan berhasil. 


Menurut Jonathan Lehne, Jeffrey Mo and Alexander Plekhanov, EBRD (European Bank for Reconstruction Development), bahwa Institusi ekonomi dan politik - yang dipahami sebagai aturan main dalam masyarakat (North, 1990) - memainkan peran kunci dalam menentukan potensi pertumbuhan jangka panjang suatu negara.


Menurut Why Nations Fail, kualitas institusi ekonomi suatu negara sering kali ditentukan oleh kualitas institusi politiknya. Negara-negara dengan institusi ekonomi yang kuat lebih mungkin untuk menarik investasi, berpartisipasi dalam perdagangan, dan menggunakan sumber daya mereka secara efisien. Hal ini dapat menghasilkan pertumbuhan jangka panjang yang lebih baik. 


Acemoglu dan Robinson juga menjelaskan konsep “titik kritis”  - peristiwa penting yang mengganggu keseimbangan politik dan ekonomi yang ada, apakah hal ini yang dialami kita saat ini?. Titik-titik ini memberikan kesempatan bagi negara-negara untuk mereformasi institusi mereka, baik menuju inklusivitas atau ekstraksi lebih lanjut (menjadi makin buruk atau berubah menjadi baik). Ini bagai kesadaran bersama dirasakan segenap elemen masyarakat, sesuatu tidak bisa dibiarkan berlanjut, harus ada perubahan.


Sebagai contoh, “The Black Death”, wabah yang menyebabkan kekurangan tenaga kerja di Eropa, memberdayakan para pekerja dan melemahkan sistem feodal, pada akhirnya berkontribusi pada pengembangan institusi yang lebih inklusif di Eropa Barat.


Bagaimana perubahan terkadang dapat terjadi melalui revolusi dan dapat menggulingkan institusi ekstraktif, tetapi seringkali hanya menggantikan satu elit dengan elit lainnya (yang tidak menganti sistem apapun) seperti yang terlihat di banyak negara pasca-kolonial. Penulis percaya bahwa hasil ekonomi yang buruk bukan karena kurangnya kesadaran akan kebijakan yang lebih baik, tetapi lebih merupakan hasil dari pilihan yang disengaja oleh mereka yang berkuasa untuk mempertahankan kontrol. 


Apakah itu Institusi Inklusif dan Eksklusif?


Institusi inklusif:


Mendorong partisipasi: Lembaga-lembaga inklusif mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam perekonomian dan menggunakan kemampuan mereka. 

Mendorong kompetisi: Lembaga-lembaga inklusif mendorong kompetisi, inovasi, dan kewirausahaan. Melindungi hak milik: Lembaga-lembaga inklusif mendorong dan menegakkan hak-hak kepemilikan.  Menciptakan lapangan bermain yang setara: Lembaga-lembaga yang inklusif menciptakan lapangan yang setara bagi semua orang. 

Memberikan kesempatan yang sama: Lembaga-lembaga yang inklusif memberikan kesempatan yang sama bagi semua orang. 


Institusi ekstraktif:


Memusatkan kekuasaan: Lembaga-lembaga ekstraktif memusatkan kekuasaan dan sumber daya di tangan segelintir elit. Lembaga-lembaga ekstraktif dirancang untuk mengeruk sumber daya dari mayoritas masyarakat untuk menguntungkan segelintir elit dan oligarki saja. Mereka menghambat inovasi dan investasi, yang mengarah pada stagnasi dan kemiskinan.

Membatasi akses: Lembaga-lembaga ekstraktif membatasi akses terhadap pendidikan, inovasi, dan kewirausahaan. 

Membatasi hak-hak ekonomi: Lembaga-lembaga ekstraktif membatasi hak-hak ekonomi dan membatasi peluang. 

Mengeksploitasi sumber daya: Lembaga-lembaga ekstraktif mengeksploitasi sumber daya dan menekan oposisi politik. 

Kurangnya pemeriksaan dan keseimbangan: Lembaga-lembaga ekstraktif sering kali tidak memiliki checks and balances yang efektif terhadap kekuasaan politik. Lembaga-lembaga politik yang ekstraktif memusatkan kekuasaan dan membatasi pengawasan terhadap otoritas.


Institusi yang Bergeser menjadi Ekstraktif


Institusi 1: KPK Dilemahkan


Tanggal 13 Februari 2019, sebanyak sembilan fraksi di DPR menyetujui Revisi UU KPK, dengan begitu tidak lagi menjadi lembaga independen, karena kelembagaannya berada di bawah presiden. Hal ini setelah berkembang liar isu (yang kemudian dibenarkan oleh Agus Raharjo, Ketua KPK) pemanggilan Ketua KPK untuk menghentikan kasus sprindik e-KTP Ketua DPR saat itu, Setya Novanto. Pemerintah mengganti semua penyidik dari Kepolisian. Bahkan sampai tahap pengesahan, KPK tidak diberitahu perubahan Revisinya.


Institusi 2 - Bottle-neck PPATK dibiarkan: PPATK tidak mempunyai wewenang menyelidiki dan bahkan terkesan enggan menyerahkan data, sementara kepolisian, kejaksaan dan KPK tidak juga melakukan penyelidikan, senada dengan PPATK.


Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) merilis sejumlah analisis transaksi keuangan yang dilakukan sepanjang 2023. PPATK menemukan adanya aliran dana proyek strategis nasional (PSN) yang justru masuk ke kantong aparatur sipil negara (ASN) hingga politikus, telah dilaporkan ke Presiden. Sepanjang Januari sampai November 2023, PPATK telah menyampaikan 1.178 laporan hasil analisis yang terkait dengan 1.847 laporan transaksi keuangan mencurigakan (10/1/2024). Kepala Biro Humas PPATK Natsir Kongah menjelaskan aliran dana tersebut berasal dari salah satu kasus dan saat ini tengah ditangani oleh pihak-pihak terkait. namun penafsiran atas temuan satu kasus, beragam. Intinya bahwa penemuan ini kemudian tidak ditindak-lanjuti oleh kepolisian, atau pihak berwenang lain.


Institusi 3: DPR, Perubahan Undang-undang pro rezim, elit dan oligarki

 

  1. Menyetujui Revisi UU KPK sehingga melemahkan karena tidak lagi independen. Tanggal 13 Februari 2019, sebanyak sembilan fraksi di DPR menyetujui. KPK tidak independen namun dibawah Presiden dan penyidik diambik dari kepolisian. Sebelum akhir periode, Jokowi memilih ketua KPK, Setyo Budiyanto, seorang perwira tinggi polisi. Menurut berita online Inilah.com (artikel sudah tidak diketemukan, cek link), Majalah INSIDER Edisi 2 November 2024 berjudul “Cawe-cawe di Komisi Antirasuah” disinyalir terdapat sejumlah pihak yang diduga cawe-cawe dalam proses seleksi capim KPK, salah satunya Kapolri Listyo Sigit Prabowo. Orang nomor satu Korps Bhayangkara sekaligus orang dekat mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu disebut-sebut “menitipkan” nama Setyo Budiyanto dan beberapa calon yang berasal dari lembaganya kepada panitia seleksi (Pansel) KPK.
  2. Menurut Jatam (Jaringan Advokasi Tambang), dalam artikelnya, "Bahaya Revisi UU Pertambangan Minerba", Dalam draft RUU Minerba dan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Pemerintah yang beredar, semangat RUU Minerba ini sangat eksploitatif, terus bergantung pada sumber energi kotor batubara. Dijelaskan dengan mengutip Tempo: Komposisi anggota DPR RI Periode 2019-2024 (saat pengesahan revisi) masih diisi oleh mayoritas anggota petahana (yang notabene mengusung dan mendukung RUU Minerba), dan “dari 675 anggota yang terpilih itu, sebanyak 262 orang berlatar belakang pengusaha” (Tempo, Edisi 2 Oktober 2019). Selain korporasi yang diberikan karpet merah oleh DPR RI melalui draft RUU Pertambangan Mineral dan Batubara ini, para pejabat pembuat keputusan pun justru dilindungi dengan dihilangkannya Pasal 165 tentang pidana penjara dan denda bagi setiap orang yang mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR), atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang menyalahgunaan kekuasaan dan bertentangan dengan undang-undang.
  3. Naikan PPN dan turunkan PPH. Kenaikan tarif PPN secara bertahap dari 10% menjadi 12% dipandang merupakan tindak lanjut atas penurunan PPh badan dari 25% menjadi tinggal 22% yang diterapkan pemerintah sejak pandemi Covid-19, salah satunya atas dorongan oligarki untuk menarik investasi asing (menurut sumber tidak tertulis, Era Menteri Bambang Brojonegoro 2015, diminta menaikan PPN dan menurunkan PPH atas dorongan pengusaha, oligarki dan asing). Namun hal ini dipandang sebagai ketidak-adilan, karena PPN dikenakan serentak dan merata di semua jenis barang, walaupun ada pengecualian namun minor. Tarif PPN naik menjadi 12% paling lambat pada 1 Januari 2025 sesuai dengan UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).


Institusi 4: Nihil Meritokrasi & Konflik Kepentingan Rezim Pemerintah, Institusi Kepresidenan dan Politik Pribadi Jokowi


  1. Menurut penelusuran JATAM, ada 34 dari 48 menteri dalam kabinet Prabowo-Gibran yang terafiliasi dengan bisnis, baik langsung maupun tak langsung. Jumlah itu nyaris tiga perempat dari total jumlah menteri. Dari 34 menteri tersebut, sebanyak 15 di antaranya terafiliasi dengan bisnis ekstraktif
  2. Menurut YLBHI, Selama Jokowi menjabat, nihil meritokrasi, ia mengangkat beberapa individu yang mendukungnya dalam Pilpres masuk ke jabatan-jabatan spesial. Setidaknya, terdapat 13 relawan Jokowi dalam Pemilu 2019 telah menjadi komisaris BUMN.
  3. Sejak menjadi presiden, terbentuk kelompok-kelompok relawan pendukung Jokowi, yaitu Projo, Alap-Alap Jokowi, dan Pasukan Bawah Tanah Jokowi atau Pasbata. Selama Jokowi menjabat, ia mengangkat beberapa individu yang mendukungnya dalam Pilpres masuk ke jabatan-jabatan spesial. Setidaknya, terdapat 13 relawan Jokowi dalam Pemilu 2019 telah menjadi komisaris BUMN. Budi Arie Setiadi sebagai Ketua Umum Projo. Sebelum jadi menteri Meninfo, Budi Arie lebih dulu mencicipi jabatan wakil menteri. Ia ditunjuk oleh Presiden Jokowi sebagai Wakil Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) pada 25 Oktober 2019. Kemudian di masa Prabowo, menjabat Menteri Koperasi dan UKM.
  4.  Mahkamah KonstitusiMK mengizinkan individu yang telah memegang jabatan terpilih untuk mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden, meskipun mereka tidak memenuhi persyaratan usia yang ditentukan dalam Undang-Undang Pemilihan Umum (UU PU). Keputusan tersebut memungkinkan Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka, salah satu putra Jokowi, menjadi calon wakil presiden pada pemilu 2024; Gibran saat mengeluarkan putusan berusia 36 tahun, sedangkan syarat usia UU PU adalah 40 tahun. Kakak ipar Jokowi, ketua MK Anwar Usman, tidak menarik diri dari petisi yang pada akhirnya mengizinkan keponakannya, Gibran, untuk menjadi cawapres Prabowo.
  5. Kebalikan dari akrobatik-nya MK, kali ini DPR justru menyetujui akrobatik MA. Panitia kerja DPR RI menyepakati draf RUU Pilkada dalam pembahasan kilat hari ini, yang ditengarai memfasilitasi Kaesang untuk maju di Gubernur Jawa Tengah. Namun, DPR menolak mengakomodir Putusan MK dalam draf tersebut. Putusan Mahkamah Konstitusi yang memutuskan batas usia minimum calon kepala daerah dihitung sejak penetapan pasangan calon. Alih-alih mematuhi Putusan MK, DPR justru memilih mengikuti Putusan Mahkamah Agung Nomor 23 P/HUM/2024. Putusan MA menyebutkan batas usia 30 tahun untuk calon gubernur dan 25 tahun untuk calon bupati atau wali kota diubah menjadi berlaku saat pelantikan kepala daerah terpilih. Namun gerakan rakyat melalui "Peringatan Darurat" yang ramai disokong mahasiswa turun ke jalan dan ramainya di medsos, membatalkan akrobatik, disinyalir merintis dinasti Jokowi.
  6. Didokumentasikan Freedom House, Pilihan politik juga dipengaruhi oleh dinamika dinasti, dengan anak-anak Jokowi dan mantan presiden yang mengambil peran politik utama. Putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, diangkat sebagai ketua Partai Solidaritas Indonesia (PSI) pada September 2023, dua hari setelah menjadi anggota partai. 
  7.  Kenaikan Gaji ASN dan Bansos menjelang Pilpres 2024.  Seperti dilaporkan BBC, 1 Februari 2024, bahwa Keputusan Presiden Joko Widodo menaikkan gaji PNS dan TNI/Polri sebesar 8% menjelang Pilpres 2024 diyakini oleh sejumlah pengamat politik sebagai strategi untuk mendulang suara ke salah satu pasangan capres-cawapres. Sebab di tengah kontestasi politik yang tinggi seperti sekarang, menguasai suara aparatur sipil negara yang jumlahnya mencapai 4, 28 juta orang bisa memperlebar jarak kemenangan dengan pasangan calon lain. Pengamat politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Aisah Putri Budiatri, menilai kenaikan gaji jelang hari pencoblosan seperti ini sangat sarat dengan kepentingan politik. Kecurigaan publik tersebut, katanya, timbul karena mirip dengan kebijakan Jokowi yang jor-joran menggelontorkan program bantuan sosial (bansos). Menteri Keuangan Sri Mulyani bahkan menyebut anggaran bansos naik dari Rp20,5 triliun menjadi Rp493,5 triliun pada 2024.
  8. Pembubaran Komite Aparatur Sipil Negara (KASN) melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (disahkan 3 Oktober 2023) dan pengalihan wewenang pengawasan ke Badan Kepegawaian Negara (BKN) telah memunculkan kekhawatiran tentang politisasi birokrasi. Selain itu, kebijakan penunjukan rektor perguruan tinggi negeri (PTN) langsung oleh presiden, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan PTN dan diperkuat dalam revisi UU ASN 2023, memberikan wewenang besar kepada presiden untuk memilih pimpinan universitas tanpa proses seleksi terbuka yang ketat. Kombinasi kedua kebijakan ini menunjukkan pola perilaku politik yang bertujuan menguasai suara atau pengaruh dalam birokrasi dan dunia akademik, yang merupakan dua sektor strategis untuk mobilisasi politik terutama menjelang pemilu. ICW mencatat bahwa tanpa KASN, praktik jual-beli jabatan dan politisasi birokrasi meningkat, terutama di daerah, sebagai modus korupsi kepala daerah untuk memperkuat basis politik. Menjelang Pilpres 2024, kontrol atas birokrasi menjadi krusial untuk memengaruhi suara PNS, yang jumlahnya sekitar 4,4 juta pegawai (data BKN 2023), kelompok signifikan dalam pemilu. Contoh: Penunjukan Ari Kuncoro sebagai Rektor Universitas Indonesia (UI) pada 2019 oleh Jokowi, yang kemudian diperpanjang hingga 2024, menuai kritik karena Ari dianggap dekat dengan lingkaran kekuasaan (ia juga menjabat sebagai Komisaris Utama BNI, BUMN strategis). Pada 2023, UI dikritik karena membatasi kebebasan akademik, seperti pembatasan diskusi politik kritis terhadap pemerintah, yang dianggap sejalan dengan agenda Jokowi. Pada 2023-2024, sejumlah PTN seperti UI, UGM, dan ITB dikritik karena rektornya membatasi kebebasan akademik, seperti melarang diskusi kritis terhadap pemerintah, yang sejalan dengan agenda Jokowi untuk mengendalikan narasi menjelang Pilpres. Pada Pilpres 2024, sejumlah rektor PTN (termasuk UI) secara terbuka menyatakan dukungan untuk keberlanjutan program Jokowi, yang menguntungkan Prabowo-Gibran. Penunjukan pejabat Kemendikbudristek yang dekat dengan Jokowi, seperti Nizam (Plt. Dirjen Diktiristek 2023-2024), mempermudah penempatan rektor yang sejalan dengan agenda pemerintah, tanpa pengawasan ketat. Data 2023 menunjukkan 2.569 perwira TNI aktif menduduki jabatan sipil, termasuk 29 di luar ketentuan, menunjukkan politisasi tanpa pengawasan KASN. Penempatan perwira, tanpa pengawasan KASN, memungkinkan Prabowo (eks-jenderal TNI) mengkonsolidasikan loyalitas militer dalam birokrasi sipil, yang juga dapat memengaruhi suara atau dukungan politik dari institusi strategis. UU 20/2023 memungkinkan perwira TNI/Polri aktif mengisi jabatan ASN, termasuk melalui open bidding. Contoh: Penunjukan Letkol Teddy Sumarsono (TNI aktif) sebagai Sekretaris Kabinet pada Maret 2025 oleh Presiden Prabowo, yang memicu kritik dari Imparsial karena dianggap melanggar supremasi sipil.
  9. Represi  menggunakan perangkat digital seperti pengawasan, penutupan Internet, penegakan hukum, dan manipulasi online dengan bantuan buzzer, dan pelacakan data pribadi dengan perangkat siber. Menurut Project Multatuli, Jokowi juga semakin memberikan perlindungan kepada para elite politik dan ekonomi lewat revisi UU KPK, UU Cipta Kerja, dan revisi UU Kitab Hukum Pidana. Semua aturan-aturan hukum ini pada hakekatnya merupakan ‘infrastructure of repression’, infrastruktur penindasan yang mengamankan para elite dan mengontrol massa-rakyat. Menurut Giga Hamburg.de, Institut di Jerman untuk Studi Kawasan dan Global, Indonesia sedang berada dalam proses kemunduran demokrasi. Pemerintah semakin berupaya untuk membatasi ruang sipil dengan menggunakan berbagai instrumen represi digital seperti pengawasan, penutupan Internet, penegakan hukum, dan manipulasi online dengan bantuan buzzer. Sangat mengkhawatirkan karena menjelang pemilihan umum parlemen dan presiden yang pada Februari 2024. Hukum dan peraturan, yang awalnya dirancang untuk mengekang pencemaran nama baik dan penyebaran berita palsu, secara sistematis digunakan untuk mengintimidasi dan mengadili para jurnalis, aktivis masyarakat sipil, dan akademisi, serta untuk menanamkan rasa takut di kalangan masyarakat luas. Aktor-aktor pemerintah serta elit politik, administratif, yudisial, dan bisnis tertentu mempekerjakan buzzer untuk mendelegitimasi kritik dan menyebarkan disinformasi, misalnya dengan membuat narasi tertentu tentang politisi dan kebijakan. Terakhir, Indonesia mendapatkan skor 47 dari 100 poin untuk kebebasan berpendapat di internet dan dikategorikan sebagai “sebagian (partly free)” dalam penilaian “‘Freedom on the Internet’” terbaru (2023). Sejak tahun 2016, angka ini telah menurun (56/100). Pemerintah telah meningkatkan kapasitas pengawasannya dalam beberapa tahun terakhir. Dengan membentuk “Unit Siber” pada tahun 2021, polisi nasional meningkatkan kapasitasnya untuk memantau media sosial menggunakan perangkat lunak mata-mata seperti Pegasus. Layanan dan platform digital swasta diwajibkan oleh Peraturan Menteri No. 5 Tahun 2020 untuk mendaftar ke Kementerian Komunikasi dan Informatika (sekitar 48 aplikasi dan platform diblokir karena tidak mendaftar pada tenggat waktu Agustus 2022) dan memberikan akses kepada lembaga pemerintah ke data pengguna pribadi. Dengan demikian, jurnalis dan aktivis masyarakat sipil dapat dipantau oleh gadget-gadget ini. Menurut Amesty International, Melalui intelijen sumber terbuka, termasuk database perdagangan komersial dan pemetaan infrastruktur spyware, The Security Lab menemukan bukti penjualan dan penyebaran spyware yang sangat invasif dan teknologi surveillance lainnya ke perusahaan dan lembaga negara di Indonesia antara tahun 2017 dan 2023. Entitas tersebut termasuk Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Badan Siber dan Sandi Negara. Dalam artikel Detik.com, memuat laporan dari pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahwa dirinya mengetahui pergerakan semua partai politik (parpol) menjelang Pemilu 2024. Jokowi menyebut dirinya mendapat informasi intelijen yang komplet. Jokowi mengatakan informasi soal partai politik yang diterimanya sangat lengkap. Jokowi mendapatkan informasi soal partai-partai itu dari intelijen. "Informasi yang saya terima komplet dari intelijen saya ada BIN, dari intelijen di Polri ada, dari intelijen TNI saya punya BAIS dan informasi-informasi di luar itu, angka data, survei semuanya ada. Saya pegang semua dan itu hanya miliknya presiden karena langsung, langsung ke saya," ujarnya. Hal ini disampaikan Jokowi saat membuka rapat kerja nasional (rakernas) relawan Seknas (Sekretariat Nasional) Jokowi di Bogor(16/9/2023).


Institusi 5: Intitusi Politik, Politisi - Partai Politik dan kaitan Institusi lain.


  1. Etika dan Moral pejabat KPU, Eks Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam), Mahfud MD menyoroti kualitas Komisi Pemilihan Umum (KPU) setelah terungkapnya perbuatan asusila Hasyim Asy'ari yang berujung sanksi pemecatan dari Ketua KPU. “Secara umum KPU kini tak layak menjadi penyelenggara pilkada yang sangat penting bagi masa depan Indonesia,” tulis Mahfud dikutip Kompas.com, Senin (8/7/2024). “Info dari obrolan sumber Podcast Abraham Samad SPEAK UP, setiap komisioner KPU sekarang memakai 3 mobil dinas yang mewah,” tulis Mahfud. “Ada juga penyewaan jet (untuk alasan dinas) yang berlebihan, juga fasilitas lain jika ke daerah yang (maaf) asusila. DPR dan Pemerintah perlu bertindak, tidak diam,” tulis dia.
  2.  Kerawanan Serangan Cyber & Anomali sistem perhitungan Pemilu 2024 dan ditemukan bahwa lalu lintas data dan email dialihkan melalui lokasi di Prancis dan Singapura, yang terhubung melalui layanan Alibaba Cloud. Selain itu, situs pemilu2024.kpu.go.id ditemukan terhubung dengan Zhejiang Taobao Network Co, Ltd. Setelah Pemilihan Umum 2024, publik dikejutkan oleh anomali dalam proses penghitungan suara, seperti yang dihimpun oleh sistem informasi Komisi Pemilihan Umum (KPU), Sirekap. Terdapat perbedaan antara hasil penghitungan suara di Formulir C1 dengan data tabulasi di situs sirekap-web.kpu.go.id dan pemilu2024.kpu.go.id. Menanggapi kejadian tersebut, Cyberity - sebuah komunitas yang berfokus pada isu keamanan siber dan perlindungan data di Indonesia - Ketua Cyberity Arif Kurniawan menginisiasi penelitian dan investigasi terhadap kedua situs milik Komisi Pemilihan Umum tersebut.  Penggunaan server yang berada di luar negeri menimbulkan kekhawatiran akan kerentanan keamanan siber pada aplikasi pemilu2024.kpu.go.id, sehingga menimbulkan ketidakstabilan pada aplikasi Sirekap, terutama pada masa-masa kritis seperti pemilu dan hari-hari setelahnya. Merujuk pada Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE) dan Undang-Undang No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP), Menegaskan bahwa semua data warga negara Indonesia harus disimpan di Indonesia.
  3. Ketidak-netralan Proses Pemilu. Seperti dilaporkan VOA, Bahwa Koalisi NGO untuk Keadilan (SINGKAP) Pemilu menemukan praktik ketidaknetralan aparat dan pejabat negara dalam pemilu 2024 yang terjadi di semua level. SINGKAP terdiri dari puluhan lembaga swadaya masyarakat, termasuk KontraS, Imparsial, Setara Institute, Centra Initiative, Inklusif dan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD). Berdasarkan hasil pemantauan selama 13 November 2023 hingga 31 Januari 2024 ditemukan adanya 121 kasus pelanggaran oleh aparatur negara dengan 31 kategori tindakan. Sedangkan pada periode Mei sampai pertengahan November 2023 hanya terdapat 56 kasus. Dari 31 kategori tindakan, lanjutnya, tujuh tindakan teratas adalah dukungan aparatur sipil negara terhadap pasangan calon presiden dan wakil presiden tertentu (38 kasus), kampanye terselubung (16 kasus), dukungan terhadap kandidat tertentu (14 kasus), politisasi bantuan sosial (10 kasus), dukungan pejabat terhadap kontestan tertentu (sembilan kasus), penggunaan fasilitas (enam kasus), intimidasi terselubung (lima kasus), serta dukungan penyelenggara negara terhadap kontestan tertentu (dua kasus).
  4.  Komposisi politik di kabinet Jokowi ke koalisi partai politik, buzzer dan relawan yang berlanjut di kabinet berikutnya. Peneliti dari Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia, Hurriyah dalam, menyebut adanya "politik balas budi gaya baru". Kata dia, posisi-posisi diberikan bukan hanya kepada partai politik.Di periode Jokowi kedua menempatkan posisi-posisi yang dianggap sebagai bentuk balas budi itu diberikan kepada kelompok non-partai yaitu ke relawan. Menurut Ali Mochtar Ngabalin, kompoisis dari politisi dan profesional adalah 45:55%.  Seperti di laporkan oleh Bloomberg Technoz,  Lembaga studi Center of Economic and Law Studies (Celios) menganalisis bahwa dari 108 kandidat pembantu Presiden Terpilih Prabowo Subianto, mayoritas kandidat atau tepatnya 55,6% terafiliasi dengan partai politik. Dari jumlah kandidat, hanya 5,6% yang berasal dari kalangan akademisi. Peneliti Celios Galau D. Muhammad, Achmad Hanif Imaduddin, dan Media Wahyudi Askar menyatakan mayoritas nama yang dipanggil mengisi kabinet berasal dari politisi dengan proporsi 55,6% atau 60 dari 108 kandidat. Proporsi teknokrat dalam calon kabinet Prabowo hanya sebesar 15,7% atau 17 orang. Kemudian disusul kalangan TNI/POLRI sebesar 8,3%, pengusaha sebanyak 7,4%), tokoh agama sebesar 4,6%, dan selebriti sebanyak 2,8%. Minimnya partisipasi akademisi ditengah banyaknya kandidat yang terafiliasi partai politik membuat komposisi kabinet Prabowo menjadi sorotan, pasalnya sejak masa reformasi terdapat kecenderungan “Menteri dari Parpol lebih rentan terlibat kasus korupsi,” kata Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin dalam risetnya, Kamis (17/10/2024). Wijayanto menjelaskan, sepanjang periode reformasi terdapat 15 menteri menjadi tersangka kasus korupsi. Dari 15 menteri tersebut, 11 diantaranya atau 73,3% merupakan menteri berlatar belakang partai politik.Kecenderungan menteri yang berlatar belakang partai politik terlibat kasus korupsi, lanjut Wijayanto, diduga akibat tiga faktor utama yakni mahalnya biaya politik, penugasan dari partai untuk mencari dana, hingga karakter politisi yang kerap ‘mengambil risiko’.

Lebih lengkap bisa baca link berikut: 

 

Inilah.com

  1. OCCRP: Behind the Decision (Indonesia): How OCCRP’s ‘Person of the Year’ Highlights the Fight Against Corruption 
  2. South China Morning Post (SCMP): Indonesia’s Widodo slams ‘baseless’ report listing him as leading corruption enabler
  3. Channel News Asia (CNA): Indonesia police under pressure to probe former president Joko Widodo for corruption
  4. YLBHI: 10 Faktor Jokowi Layak Disebut Pemimpin Korup dan Pelanggar Hukum dan HAM terorganisir
  5. EBRD: What determines the quality of economic institutions? Cross-country evidence 
  6. KompasTV:Agus Rahardjo Tak Diizinkan Lihat Draf Revisi UU KPK hingga Bertemu Jokowi | ROSI  
  7. Inilah.com: (artikel dihapus): Ketua KPK Setyo Budiyanto, Rekam Jejak, Hingga Rumor “Dititip” Kapolri 
  8. Inilah.com: CAWE-CAWE DI KOMISI ANTI RASUAH
  9. Tirto id: PPATK Endus 36% Dana Proyek Strategis Masuk Kantong Politikus.
  10. JATAM: Bahaya Revisi UU Pertambangan Minerba 
  11. Hukum Online.com: Abaikan Putusan MK Terkait Batas Usia, DPR dan Presiden Dinilai Langgar Konstitusi 
  12. JATAM: Indonesia di Bawah Kendali Rezim Ekstraktif
  13. Sindonews: 6 Fakta Menarik Budi Arie, Ketum Projo yang Jadi Menteri di Dua Era Presiden Berbeda 
  14. Freedom House: Freedom in the World 2024 - Indonesia
  15. Project Multatuli: Langkah Politik Jokowi: Dari Populis ke Oportunis? 
  16. GIGA-Hamburg.de: The Rise of Digital Repression in Indonesia under Joko Widodo 
  17. Amnesty International: Global: A Web of Surveillance – Unravelling a murky network of spyware exports to Indonesia 
  18. Detik.com: Data Intelijen di Tangan Bikin Jokowi Tahu Semua Pergerakan Parpol  
  19. BBC: Presiden Jokowi naikkan gaji PNS jelang pencoblosan - Apakah akan memengaruhi para ASN memilih capres-cawapres tertentu? 
  20. Kompas.com: Mahfud MD: KPU Kini Tak Layak Jadi Penyelenggara Pilkada 2024 
  21. Gutzy Asia.com: Alleged Alibaba Singapore link sparks election cybersecurity concerns in Indonesia 
  22. VOA Indonesia: Koalisi NGO Temukan Praktik Ketidaknetralan Aparat dan Pejabat Negara di Pemilu 2024 
  23. BBC: Komposisi kabinet Jokowi 2019 cermin 'pelanggengan' politik balas budi?
  24. Bloomberg Technoz: Kabinet Prabowo: Minim Akademisi, Politikus Mendominasi 
  25. Grok


(Jkt, 04/01/25 - update ke 2 - 23/01/25, update minor 22/02/25 update pembubaran KASN dll - 09/09/25 & masih berlanjut)

Pembubaran Komite Aparatur Sipil Negara (KASN)

Hilangnya Meritokrasi di lembaga negara: embubaran Komite Aparatus Sipil Negara

Pembubaran Komite Aparatur Sipil Negara (KASN)


"Saya ingat sekali bahwa di era Jokowi Komisi ASN dibubarkan padahal komisi ASN adalah penjaga meritokrasi. Dan yang paling ngotot membubarkan adalah Luhut Panjaitan" (Sudirman Said) - Artanabil @ArtaN7707 - 31 Agustus 2025.  (Jkt, 09/09/25)

Manipulasi UU ITE Warisan Jokowi Jebakan bagi Rakyat, TNI & Prabowo

Manipulasi UU ITE Warisan Jokowi Jebakan bagi Rakyat, TNI & Prabowo. (Sinkos Indonesia - Youtube Channel)

Manipulasi UU ITE Warisan Jokowi Jebakan bagi Rakyat, TNI & Prabowo


Video YouTube berjudul "Manipulasi UU ITE Warisan Jokowi Jebakan bagi Rakyat, TNI & Prabowo" dari channel Sinkos Indonesia (diunggah pada 10 September 2025) membahas secara mendalam tentang penyalahgunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang diwarisi dari era pemerintahan Jokowi.


Perbincangan dalam wawancara atau diskusi antara pembawa acara (Bang Faisal) dan narasumber utama, Prof. Dr. Henri Subiakto (bekas lingkar inti Dep. Kominfo era Jokowi), guru besar di bidang Ilmu Komunikasi, resah dengan kriminalisasi aktivis dan rakyat akibat praktek arogansi kekuasaan. 


Mantan akademisi dan ahli yang terlibat dalam penyusunan UU ITE, dalam wawancara ini fokusnya adalah pada bagaimana UU ini dimanipulasi untuk tujuan politik jahat, seperti meneror, mengintimidasi, dan memenjarakan rakyat yang kritis terhadap pemerintah. Secara keseluruhan, perbincangan menyoroti bahwa UU ITE, yang awalnya dirancang untuk melindungi transaksi elektronik dan informasi di era digital (sejalan dengan standar internasional seperti Konvensi Budapest tentang kejahatan siber), kini mlah menjadi "racun" warisan Jokowi yang berpotensi membenturkan pemerintahan Prabowo dengan rakyat serta Tentara Nasional Indonesia (TNI).


Narasumber menekankan bahwa manipulasi ini sering digunakan untuk membungkam suara kritis, termasuk aktivis seperti Abraham Samad dan Feri Irwandi, yang menghadapi patroli siber TNI.


Video ini mengkritik rezim Jokowi sebagai "busuk" karena mewariskan kebijakan yang tidak adil, dan menyerukan agar Prabowo lebih tegas dalam merevisi UU tersebut untuk menunjukkan keberpihakan pada rakyat.


Highlight Utama


Poin-poin kunci berikut yang menjadi sorotan dalam perbincangan:


Penyalahgunaan UU ITE untuk Tujuan Politik: UU ini sering dimanipulasi untuk menargetkan kritikus pemerintah, seperti dalam kasus isu ijazah palsu atau kritik terhadap kebijakan Jokowi. Ini menciptakan intimidasi dan penjara bagi rakyat biasa, bukan melindungi transaksi digital seperti tujuan aslinya.


Dampak pada Rakyat, TNI, dan Prabowo: Warisan ini dilihat sebagai "jebakan" yang bisa memicu konflik antara rakyat dengan aparat penegak hukum, termasuk TNI melalui patroli siber. Contoh kasus melibatkan aktivis yang menjadi korban, menunjukkan bagaimana UU ini memecah belah masyarakat. 


Sejarah dan Tujuan Asli UU ITE: Profesor Hendri menjelaskan bahwa UU ITE dibuat untuk menangani kejahatan siber secara global, tetapi kini disalahgunakan untuk rekayasa politik. Ini bertentangan dengan hak konstitusional seperti kebebasan berpendapat.


Seruan untuk Revisi di Era Prabowo: Video menekankan perlunya Prabowo membongkar dan meluruskan UU ITE agar tidak terus menjadi alat penindasan. Revisi diperlukan untuk mencegah korban lebih lanjut dan memastikan penegakan hukum yang adil, sehingga pemerintahan baru lebih berpihak pada rakyat.


Perbincangan ini bersifat kritis dan provokatif, dengan nada yang mendesak perubahan segera untuk melindungi demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia.  (Jkt, 09/09/25)

Tokoh Penting Mengungkapkan Proses Pelemahan KPK dari Lembaga Inklusif menjadi Ekstraktif & Persidangan di MK

Wawancara Agus Raharjo tentang Revisi UU KPK dan Pemanggilan ke Istana oleh Jokowi

Mantan Ketua KPK, Agus Rahajo menceritakan kronologis pemanggilan ke Istana oleh Jokowi, bagaimana KPK diubah menjadi di bawah Presiden dan tidak lagi independen tanpa memberikan pemberitahuan sebelumnya sampai ketuk palu di DPR. Titik awal lembaga KPK inklusif berubah menjadi ekstraktif oleh elit politik sekaligus pemimpin bangsa pada saatnya, yang berbahaya bagi kelangsungan bangsa. (Jkt, 22/02/25) - NEW

Kronologi Hasto Bercerita Jokowi Inisiator Revisi UU KPK, bukan PDIP


Mantan Sekjen PDIP, Hasto Kristianto di akun pribadinya yang belum lama dibuat, menceritakan interaksi dengan Jokowi dalam upaya pelemahan KPK, bagaimana ini dipandang sebagai salah satu upaya penyelamatan dinasti yang mulai dibangunnya.


Tiga Juta Dollar AS setara dengan 42.459.000.000 rupiah (42,46 milyard Rupiah). Sasaran untuk meloloskan undang-undang sepertinya parpol dan politisi di DPR (?).


Video dari akun Hasto telah dihapus, gantinya link di X: berikut di bawah ini(Jkt, 22/02/25 - update 23/02/25: video youtube dihapus) - NEW

TEMPO: Novel Baswedan: Hasto Pernah Bercerita Bahwa Jokowi Inisiator Revisi UU KPK


Hasto mengatakan pernah berbincang dengan Novel Baswedan di UI pada 7 Mei 2024. Hasto bercerita Jokowi sebagai dalang untuk revisi UU KPK


Mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan, mengatakan dirinya pernah berbincang dengan Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristianto ihwal alasan revisi Undang-Undang KPK pada 2019 silam. Menurut Novel, revisi UU KPK menjadi penyebab lembaga antirasuah tersebut kehilangan taringnya. Lebih lengkap klik link di bawah.


(Jkt, 23/02/25) - NEW

Ahli: Dewan Pengawas Hancurkan Independensi KPK  

Sidang di Mahkamah Konstitusi

Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) untuk Perkara Nomor 59, 62, 70, 71, 73, 77, 79/PUU-XVII/2019 digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (12/2/2020) dengan agenda mendengarkan keterangan para Ahli Pemohon.


Pakar hukum tata negara, Denny Indrayana mengatakan, semangat antikorupsi menjadi landasan lahirnya perubahan-perubahan konstitusi yang membawa reformasi. “Jadi sangat jelas bahwa semangat antikorupsi mewarnai perubahan konstitusi kita dan karenanya ruh antikorupsi ditiupkan ke dalam UUD 1945,” ucap Denny kepada Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.


Saat itu Anwar Usman dikenal sebagai ketua Mahkamah Konsitusi (MK) belum menikah dengan adik Jokowi. suami dari Idayati, adik kandung dari Presiden Joko Widodo.


Dikatakan Denny, independensi merupakan salah satu roh KPK. Mengenai Dewan Pengawas KPK dan revisi UU KPK, ungkap Denny, salah satu persoalannya terletak pada bagaimana hal-hal tersebut menghancurkan prinsip independensi.


“Bagaimana KPK kemudian dimasukkan ke dalam executive agency, tidak lagi sebagai independent agency. Dewan Pengawas dengan segala kewenangannya, terutama dalam perizinan-perizinan terkait dengan hukum yang memaksa, penyadapan, penggeledahan dan lain-lain, menurut kami sudah masuk ke dalam tataran yang merusak independensi KPK,” urai Denny sebagai Ahli Pemohon Perkara 59/PUU-XVI/2019. 

i(Jkt, 23/02/25) - NEW