
“Why Nations Fail: menjelaskan tentang Asal-usul Kekuasaan, Kemakmuran, dan Kemiskinan. Penulisnya berargumen bahwa pembangunan ekonomi dan kemakmuran atau kemiskinan suatu negara dapat ditelusuri kembali semata-mata pada ‘institusi, institusi, institusi’ ”
Dan banyak pemimpin di dunia ketiga secara sengaja ataupun adanya ketidaksadaran, mendorong institusi negara menjadi ekstraktif demi ambisi pribadi dan kelompoknya. Bagaimana kaitan antara Joko Widodo sewaktu masih menjabat dan perannya dalam mengubah institusi publik? Semoga menjadi pelajaran bangsa ini agar kembali mengembalikan marwah semua institusi publik menjai inklusif.
Klik tautan berikut untuk menuju ke (bawah):
Takasitau dari Berbagai Sumber
Para panel juri Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) yang terdiri dari masyarakat sipil, akademisi, dan jurnalis, yang semuanya memiliki pengalaman luas dalam menyelidiki korupsi dan kejahatan. Telah membuat nominasi (menerima lebih dari 55.000 nominasi) termasuk beberapa tokoh politik yang paling terkenal dan juga individu-individu yang kurang dikenal.
Nominasi Oleh OCCRP
Salah satu nominasi tahun ini adalah Mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Penetapan nominasi ini menjadi polemik, banyak yang mendukung juga banyak yang menyangkal, bagaimanapun bisa diamati guratan kuku Jokowi membekas dalam 10 tahun khususnya periode kedua pemerintahannya, yang diartikan oleh masing-masing kubunya, sebagai prestasi ataupun sebaliknya sebagai hal memalukan. Momen titik balik balik Jokowi ketika secara khusus memanggil pimpinan KPK saat itu, Agus Raharjo untuk menghentikan kasus e-KTP Setya Novanto (pimpinan DPR). Sejak saat itu tidak ragu melakukan intrik dan loncatan sekaligus juga menutupinya membuat citra dirinya pro rakyat dengan hura-hura pertunjukan di berbagai acara resmi atau kunjungan negara seolah menempatkan dirinya sebagai pimpinan yang handal. Intrik dan kontrol akhirnya mengakibatkan institusi terdistorsi. Tidak hanya institusi, namun juga politisi dan partai politik, seakan disandera dengan data intelejen.
Dalam artikel ini, berusaha mengkaitkan tindakan Jokowi serta circle nya, dengan isi buku 'Why Nations Fail' yang menjadi keprihatinan. Silakan baca e-book: 'Mengapa 'Suatu' Bangsa Gagal, Tinjauan Buku ‘Why Nations Fail’ dari Berbagai Sumber di link bawah atau di halaman artikel.
Baru-baru ini OCCRP mengumumkan Bashar al-Assad sebagai “Tokoh Tahun Ini”, sebuah penghargaan yang menyoroti individu dalam memajukan kejahatan dan korupsi secara global sehingga merusak demokrasi dan hak asasi manusia.
Dalam websitenya, bahwa OCCRP tidak memiliki kendali atas siapa yang dinominasikan, karena usulan-usulan tersebut datang dari seluruh dunia. Hal ini termasuk pencalonan mantan presiden Indonesia Joko Widodo. OCCRP memasukkan dalam nominasi “finalis” mereka yang mendapatkan dukungan online terbanyak dan memiliki dasar untuk dimasukkan.
Lanjutnya, OCCRP tidak memiliki bukti bahwa Jokowi terlibat dalam korupsi untuk keuntungan finansial pribadi selama masa kepresidenannya, namun, kelompok-kelompok masyarakat sipil dan para ahli mengatakan bahwa pemerintahan Jokowi secara signifikan melemahkan komisi anti-korupsi Indonesia. Jokowi juga dikritik secara luas karena melemahkan lembaga-lembaga pemilihan umum dan peradilan di Indonesia demi kepentingan ambisi politik putranya, yang kini menjabat sebagai wakil presiden di bawah presiden baru Prabowo Subianto.
“Para hakim menghargai nominasi warga negara, tetapi dalam beberapa kasus, tidak ada cukup bukti langsung mengenai korupsi yang signifikan atau pola pelanggaran yang telah berlangsung lama,” kata Penerbit OCCRP, Drew Sullivan. “Namun, jelas ada persepsi yang kuat di kalangan masyarakat tentang korupsi dan ini seharusnya menjadi peringatan bagi mereka yang dicalonkan bahwa masyarakat mengawasi, dan mereka peduli. Kami juga akan terus mengawasi."
Beberapa Media Luar
South China Morning Post, dipublikasikan 4 Januari 2025, menyoroti hal ini dalam tajuk yang ditranslasikan: 'Jokowi mengecam laporan 'tak berdasar' yang menyebutnya sebagai pelaku korupsi terbesar di Indonesia'. “Korupsi? Korupsi apa? Apa buktinya? Buktikan saja,” kata Jokowi kepada para wartawan pada hari Selasa di kediamannya di Solo, Jawa Tengah. “Ada begitu banyak fitnah, framing yang jahat, dan tuduhan yang tidak berdasar saat ini. Itulah yang terjadi."
CNA (Channel News Asia), 3 januari 2025, yang berkedudukan di Singapura memberitakan, Polisi Indonesia berada di bawah tekanan untuk menyelidiki mantan presiden Joko Widodo atas tuduhan korupsi. Hal ini terjadi setelah sebuah organisasi nirlaba internasional yang beranggotakan para jurnalis investigasi mengumumkan bahwa Joko Widodo adalah finalis Orang Paling Korup Tahun 2024. Gelar juara akhirnya jatuh ke tangan mantan presiden Suriah Bashar al-Assad.
The Australian, 2 Januari 2025, dalam artikel: Indonesia’s Widodo ‘among world’s most corrupt leaders’. Bahwa Joko Widodo mengklaim bahwa dirinya telah difitnah setelah ia dimasukkan ke dalam daftar bersama para pemimpin Afrika dan presiden Suriah yang digulingkan oleh sebuah organisasi jurnalisme internasional.
Banyak analis menyebutkan bahwa temuan-temuan yang mencerminkan kemunduran yang signifikan dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia selama masa jabatannya. Namun tidak hanya bidang anti-korupsi, juga bidang ketatanegaraan dan hukum, banyak tindakan akrobat yang melangkahi atau membuat trik hukum dan aturan.
Tinjauan YLBHI Tentang Jokowi sehubungan Penetapan Nominasi di OCCRP
YLBHI mempublikasikan artikel, 3 Januari 2025, sehubungan dengan penetapan Jokowi sebagai Nominasi Pemimpin Corrupt oleh OCCRP: 10 Faktor Jokowi Layak Disebut Pemimpin Korup dan Pelanggar Hukum dan HAM terorganisir. YLBHI memandang bahwa label tokoh paling koruptif sepanjang tahun 2024 yang dirilis oleh OCCRP memiliki dasar kuat.
10 Faktor tersebut:
1. Pelemahan KPK Secara Sistematis
2. Revisi Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara (2020)
3. Omnibus Law dan Pengabaian Check and Balances
4. Rezim Nihil Meritokrasi
5. Menghidupkan Kembali Dwifungsi Militer
6. Badan Usaha Milik Negara menjadi Badan Usaha Milik Relawan
7. Intelijen untuk Kepentingan Politik
8. Represi dan Kriminalisasi
9. Proyek Strategis Nasional Merampas ruang hidup rakyat
10. Nepotisme Kekuasaan
Lihat lebih lengkap di link di bawah.
Meninjau Institusi Inklusif vs Ekstraktif
Pembahasan institusi yang ekstraktif dan inklusif dalam institusi ekonomi dan politik adalah teori yang terus diulang dalam buku Why Nations Fail, penulis menekankan pentingnya institusi. Di sepanjang buku ini, penulis sangat konsisten dengan posisi bahwa pendekatan institusi (kelembagaan) inklusif akan membangun negara yang makmur, sedangkan pendekatan kelembagaan yang ekstraktif tidak akan berhasil.
Menurut Jonathan Lehne, Jeffrey Mo and Alexander Plekhanov, EBRD (European Bank for Reconstruction Development), bahwa Institusi ekonomi dan politik - yang dipahami sebagai aturan main dalam masyarakat (North, 1990) - memainkan peran kunci dalam menentukan potensi pertumbuhan jangka panjang suatu negara.
Menurut Why Nations Fail, kualitas institusi ekonomi suatu negara sering kali ditentukan oleh kualitas institusi politiknya. Negara-negara dengan institusi ekonomi yang kuat lebih mungkin untuk menarik investasi, berpartisipasi dalam perdagangan, dan menggunakan sumber daya mereka secara efisien. Hal ini dapat menghasilkan pertumbuhan jangka panjang yang lebih baik.
Acemoglu dan Robinson juga menjelaskan konsep “titik kritis” - peristiwa penting yang mengganggu keseimbangan politik dan ekonomi yang ada, apakah hal ini yang dialami kita saat ini?. Titik-titik ini memberikan kesempatan bagi negara-negara untuk mereformasi institusi mereka, baik menuju inklusivitas atau ekstraksi lebih lanjut (menjadi makin buruk atau berubah menjadi baik). Ini bagai kesadaran bersama dirasakan segenap elemen masyarakat, sesuatu tidak bisa dibiarkan berlanjut, harus ada perubahan.
Sebagai contoh, “The Black Death”, wabah yang menyebabkan kekurangan tenaga kerja di Eropa, memberdayakan para pekerja dan melemahkan sistem feodal, pada akhirnya berkontribusi pada pengembangan institusi yang lebih inklusif di Eropa Barat.
Bagaimana perubahan terkadang dapat terjadi melalui revolusi dan dapat menggulingkan institusi ekstraktif, tetapi seringkali hanya menggantikan satu elit dengan elit lainnya (yang tidak menganti sistem apapun) seperti yang terlihat di banyak negara pasca-kolonial. Penulis percaya bahwa hasil ekonomi yang buruk bukan karena kurangnya kesadaran akan kebijakan yang lebih baik, tetapi lebih merupakan hasil dari pilihan yang disengaja oleh mereka yang berkuasa untuk mempertahankan kontrol.
Apakah itu Institusi Inklusif dan Eksklusif?
Institusi inklusif:
Mendorong partisipasi: Lembaga-lembaga inklusif mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam perekonomian dan menggunakan kemampuan mereka.
Mendorong kompetisi: Lembaga-lembaga inklusif mendorong kompetisi, inovasi, dan kewirausahaan. Melindungi hak milik: Lembaga-lembaga inklusif mendorong dan menegakkan hak-hak kepemilikan. Menciptakan lapangan bermain yang setara: Lembaga-lembaga yang inklusif menciptakan lapangan yang setara bagi semua orang.
Memberikan kesempatan yang sama: Lembaga-lembaga yang inklusif memberikan kesempatan yang sama bagi semua orang.
Institusi ekstraktif:
Memusatkan kekuasaan: Lembaga-lembaga ekstraktif memusatkan kekuasaan dan sumber daya di tangan segelintir elit. Lembaga-lembaga ekstraktif dirancang untuk mengeruk sumber daya dari mayoritas masyarakat untuk menguntungkan segelintir elit dan oligarki saja. Mereka menghambat inovasi dan investasi, yang mengarah pada stagnasi dan kemiskinan.
Membatasi akses: Lembaga-lembaga ekstraktif membatasi akses terhadap pendidikan, inovasi, dan kewirausahaan.
Membatasi hak-hak ekonomi: Lembaga-lembaga ekstraktif membatasi hak-hak ekonomi dan membatasi peluang.
Mengeksploitasi sumber daya: Lembaga-lembaga ekstraktif mengeksploitasi sumber daya dan menekan oposisi politik.
Kurangnya pemeriksaan dan keseimbangan: Lembaga-lembaga ekstraktif sering kali tidak memiliki checks and balances yang efektif terhadap kekuasaan politik. Lembaga-lembaga politik yang ekstraktif memusatkan kekuasaan dan membatasi pengawasan terhadap otoritas.
Institusi yang Bergeser menjadi Ekstraktif
Institusi 1: KPK Dilemahkan
Tanggal 13 Februari 2019, sebanyak sembilan fraksi di DPR menyetujui Revisi UU KPK, dengan begitu tidak lagi menjadi lembaga independen, karena kelembagaannya berada di bawah presiden. Hal ini setelah berkembang liar isu (yang kemudian dibenarkan oleh Agus Raharjo, Ketua KPK) pemanggilan Ketua KPK untuk menghentikan kasus sprindik e-KTP Ketua DPR saat itu, Setya Novanto. Pemerintah mengganti semua penyidik dari Kepolisian. Bahkan sampai tahap pengesahan, KPK tidak diberitahu perubahan Revisinya.
Institusi 2 - Bottle-neck PPATK dibiarkan: PPATK tidak mempunyai wewenang menyelidiki dan bahkan terkesan enggan menyerahkan data, sementara kepolisian, kejaksaan dan KPK tidak juga melakukan penyelidikan, senada dengan PPATK.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) merilis sejumlah analisis transaksi keuangan yang dilakukan sepanjang 2023. PPATK menemukan adanya aliran dana proyek strategis nasional (PSN) yang justru masuk ke kantong aparatur sipil negara (ASN) hingga politikus, telah dilaporkan ke Presiden. Sepanjang Januari sampai November 2023, PPATK telah menyampaikan 1.178 laporan hasil analisis yang terkait dengan 1.847 laporan transaksi keuangan mencurigakan (10/1/2024). Kepala Biro Humas PPATK Natsir Kongah menjelaskan aliran dana tersebut berasal dari salah satu kasus dan saat ini tengah ditangani oleh pihak-pihak terkait. namun penafsiran atas temuan satu kasus, beragam. Intinya bahwa penemuan ini kemudian tidak ditindak-lanjuti oleh kepolisian, atau pihak berwenang lain.
Institusi 3: DPR, Perubahan Undang-undang pro rezim, elit dan oligarki
Institusi 4: Nihil Meritokrasi & Konflik Kepentingan Rezim Pemerintah, Institusi Kepresidenan dan Politik Pribadi Jokowi
Institusi 5: Intitusi Politik, Politisi - Partai Politik dan kaitan Institusi lain.
Lebih lengkap bisa baca link berikut:
(Jkt, 04/01/25 - update ke 2 - 23/01/25, update minor 22/02/25 update pembubaran KASN dll - 09/09/25 & masih berlanjut)
"Saya ingat sekali bahwa di era Jokowi Komisi ASN dibubarkan padahal komisi ASN adalah penjaga meritokrasi. Dan yang paling ngotot membubarkan adalah Luhut Panjaitan" (Sudirman Said)
— Artanabil (@ArtaN7707) August 31, 2025
Ooooooo#IndonesiaChaosTotal #IndonesiaChaosTotal pic.twitter.com/1luLqi0t4V
Hilangnya Meritokrasi di lembaga negara: embubaran Komite Aparatus Sipil Negara
"Saya ingat sekali bahwa di era Jokowi Komisi ASN dibubarkan padahal komisi ASN adalah penjaga meritokrasi. Dan yang paling ngotot membubarkan adalah Luhut Panjaitan" (Sudirman Said) - Artanabil @ArtaN7707 - 31 Agustus 2025. (Jkt, 09/09/25)
Manipulasi UU ITE Warisan Jokowi Jebakan bagi Rakyat, TNI & Prabowo. (Sinkos Indonesia - Youtube Channel)
Video YouTube berjudul "Manipulasi UU ITE Warisan Jokowi Jebakan bagi Rakyat, TNI & Prabowo" dari channel Sinkos Indonesia (diunggah pada 10 September 2025) membahas secara mendalam tentang penyalahgunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang diwarisi dari era pemerintahan Jokowi.
Perbincangan dalam wawancara atau diskusi antara pembawa acara (Bang Faisal) dan narasumber utama, Prof. Dr. Henri Subiakto (bekas lingkar inti Dep. Kominfo era Jokowi), guru besar di bidang Ilmu Komunikasi, resah dengan kriminalisasi aktivis dan rakyat akibat praktek arogansi kekuasaan.
Mantan akademisi dan ahli yang terlibat dalam penyusunan UU ITE, dalam wawancara ini fokusnya adalah pada bagaimana UU ini dimanipulasi untuk tujuan politik jahat, seperti meneror, mengintimidasi, dan memenjarakan rakyat yang kritis terhadap pemerintah. Secara keseluruhan, perbincangan menyoroti bahwa UU ITE, yang awalnya dirancang untuk melindungi transaksi elektronik dan informasi di era digital (sejalan dengan standar internasional seperti Konvensi Budapest tentang kejahatan siber), kini mlah menjadi "racun" warisan Jokowi yang berpotensi membenturkan pemerintahan Prabowo dengan rakyat serta Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Narasumber menekankan bahwa manipulasi ini sering digunakan untuk membungkam suara kritis, termasuk aktivis seperti Abraham Samad dan Feri Irwandi, yang menghadapi patroli siber TNI.
Video ini mengkritik rezim Jokowi sebagai "busuk" karena mewariskan kebijakan yang tidak adil, dan menyerukan agar Prabowo lebih tegas dalam merevisi UU tersebut untuk menunjukkan keberpihakan pada rakyat.
Highlight Utama
Poin-poin kunci berikut yang menjadi sorotan dalam perbincangan:
Penyalahgunaan UU ITE untuk Tujuan Politik: UU ini sering dimanipulasi untuk menargetkan kritikus pemerintah, seperti dalam kasus isu ijazah palsu atau kritik terhadap kebijakan Jokowi. Ini menciptakan intimidasi dan penjara bagi rakyat biasa, bukan melindungi transaksi digital seperti tujuan aslinya.
Dampak pada Rakyat, TNI, dan Prabowo: Warisan ini dilihat sebagai "jebakan" yang bisa memicu konflik antara rakyat dengan aparat penegak hukum, termasuk TNI melalui patroli siber. Contoh kasus melibatkan aktivis yang menjadi korban, menunjukkan bagaimana UU ini memecah belah masyarakat.
Sejarah dan Tujuan Asli UU ITE: Profesor Hendri menjelaskan bahwa UU ITE dibuat untuk menangani kejahatan siber secara global, tetapi kini disalahgunakan untuk rekayasa politik. Ini bertentangan dengan hak konstitusional seperti kebebasan berpendapat.
Seruan untuk Revisi di Era Prabowo: Video menekankan perlunya Prabowo membongkar dan meluruskan UU ITE agar tidak terus menjadi alat penindasan. Revisi diperlukan untuk mencegah korban lebih lanjut dan memastikan penegakan hukum yang adil, sehingga pemerintahan baru lebih berpihak pada rakyat.
Perbincangan ini bersifat kritis dan provokatif, dengan nada yang mendesak perubahan segera untuk melindungi demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia. (Jkt, 09/09/25)
Wawancara Agus Raharjo tentang Revisi UU KPK dan Pemanggilan ke Istana oleh Jokowi
Mantan Ketua KPK, Agus Rahajo menceritakan kronologis pemanggilan ke Istana oleh Jokowi, bagaimana KPK diubah menjadi di bawah Presiden dan tidak lagi independen tanpa memberikan pemberitahuan sebelumnya sampai ketuk palu di DPR. Titik awal lembaga KPK inklusif berubah menjadi ekstraktif oleh elit politik sekaligus pemimpin bangsa pada saatnya, yang berbahaya bagi kelangsungan bangsa. (Jkt, 22/02/25) - NEW

Kronologi Hasto Bercerita Jokowi Inisiator Revisi UU KPK, bukan PDIP
Mantan Sekjen PDIP, Hasto Kristianto di akun pribadinya yang belum lama dibuat, menceritakan interaksi dengan Jokowi dalam upaya pelemahan KPK, bagaimana ini dipandang sebagai salah satu upaya penyelamatan dinasti yang mulai dibangunnya.
Tiga Juta Dollar AS setara dengan 42.459.000.000 rupiah (42,46 milyard Rupiah). Sasaran untuk meloloskan undang-undang sepertinya parpol dan politisi di DPR (?).
Video dari akun Hasto telah dihapus, gantinya link di X: berikut di bawah ini(Jkt, 22/02/25 - update 23/02/25: video youtube dihapus) - NEW

TEMPO: Novel Baswedan: Hasto Pernah Bercerita Bahwa Jokowi Inisiator Revisi UU KPK
Hasto mengatakan pernah berbincang dengan Novel Baswedan di UI pada 7 Mei 2024. Hasto bercerita Jokowi sebagai dalang untuk revisi UU KPK
Mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan, mengatakan dirinya pernah berbincang dengan Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristianto ihwal alasan revisi Undang-Undang KPK pada 2019 silam. Menurut Novel, revisi UU KPK menjadi penyebab lembaga antirasuah tersebut kehilangan taringnya. Lebih lengkap klik link di bawah.
(Jkt, 23/02/25) - NEW

Sidang di Mahkamah Konstitusi
Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) untuk Perkara Nomor 59, 62, 70, 71, 73, 77, 79/PUU-XVII/2019 digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (12/2/2020) dengan agenda mendengarkan keterangan para Ahli Pemohon.
Pakar hukum tata negara, Denny Indrayana mengatakan, semangat antikorupsi menjadi landasan lahirnya perubahan-perubahan konstitusi yang membawa reformasi. “Jadi sangat jelas bahwa semangat antikorupsi mewarnai perubahan konstitusi kita dan karenanya ruh antikorupsi ditiupkan ke dalam UUD 1945,” ucap Denny kepada Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.
Saat itu Anwar Usman dikenal sebagai ketua Mahkamah Konsitusi (MK) belum menikah dengan adik Jokowi. suami dari Idayati, adik kandung dari Presiden Joko Widodo.
Dikatakan Denny, independensi merupakan salah satu roh KPK. Mengenai Dewan Pengawas KPK dan revisi UU KPK, ungkap Denny, salah satu persoalannya terletak pada bagaimana hal-hal tersebut menghancurkan prinsip independensi.
“Bagaimana KPK kemudian dimasukkan ke dalam executive agency, tidak lagi sebagai independent agency. Dewan Pengawas dengan segala kewenangannya, terutama dalam perizinan-perizinan terkait dengan hukum yang memaksa, penyadapan, penggeledahan dan lain-lain, menurut kami sudah masuk ke dalam tataran yang merusak independensi KPK,” urai Denny sebagai Ahli Pemohon Perkara 59/PUU-XVI/2019.
i(Jkt, 23/02/25) - NEW