
Gambar ilustrasi
Jefferson NG: Kenapa Singapura Bebas Korupsi? Ini Bocorannya! - kanal Youtube - PHP - 30 Oktober 2025
Dalam episode kali ini dalam kanal Youtube PHP-nya, mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dikenal karena kontribusinya dalam berbagai kasus besar yang ditangani oleh lembaga tersebut, Yudi Purnomo bersama narasumber Jefferson NG, Mahasiswa S3 Australia National University, membahas tuntas bagaimana Singapura menjadi negara dengan tingkat korupsi terendah di dunia, serta pelajaran apa yang bisa diambil Indonesia.
Lewat data dan informasi serta perbandingan kebijakan, Jefferson NG menjelaskan: 1. Bagaimana sistem hukum dan pengawasan publik di Singapura bekerja. 2. Apa peran integritas dan budaya hukum dalam mencegah korupsi. 3. Mengapa hukum tanpa penegakan yang konsisten hanya akan jadi formalitas. Dan tentu saja, Yudi juga membahas — apakah model Singapura bisa diterapkan di Indonesia? Begini intisarinya.
Tiga Faktor Kunci Sukses Singapura Bebas Korupsi (Menurut Jefferson NG)
1. Price (Harga): (korupsi) memiliki risiko tinggi— akan mendapat hukuman + rusak reputasi—jadi orang akan mikir dua kali untuk melanggar konstitusi/aturan(orang yang tentunya rasional, katanya).
2. Party (Partai): People's Action Party (PAP) siap sedia menjaga reputasi citra bersih, anggota termotivasi tidak korupsi agar partai tetap kompeten.
3. Institution (Institusi): Cuma ada satu lembaga anti-korupsi (CPIB), tanggung jawab jelas, tidak ribet koordinasi.
Perbandingan dengan Indonesia & Tantangannya
Singapura kecil, gampang dikontrol; warisan kolonial Inggris yang bikin institusi kuat dari dulu.
Indonesia? Besar, ego sektoral antar kementerian/daerah (tinggi) membuat kebijakan tidak seragam (contoh: misal larangan vaping tidak konsisten).
Masalah di kita: Anak pejabat misal, suka "flexing" aset mewah (mobil Rubicon gitu), tapi tidak ada investigasi proaktif. Hukum ada, tapi penegakan lemah. (apakah budaya ewuh-pakewuh atau sopan santun dan menjaga kehormatan orang, yang tentunya dalam hal ini salah - pen.)
Contoh Terkini yang Relevan (November 2025)
Misal, kasus vaping Agustus 2025: PM Singapura menegaskan ini masalah sosial (khususnya remaja), dalam 2 minggu langsung aksi—cek imigrasi ketat, patroli polisi. Jefferson bahkan baru balik ke Singapura, langsung kena cek!
Saran buat Indonesia: Bikin piagam anti-korupsi di partai politik, dan satukan lembaga anti-korupsi jadi satu, agar tidak tumpang tindih atau bahkan rebutan kasus? (KPK + jaksa + polisi sering bentrok).
Kesan Keseluruhan: Diskusi ini bernada optimis tapi realistis—Singapura bukan utopia, tapi contoh bagus buat Indonesia di era Prabowo (mulai 2025). Jefferson menekankan: Hukum tanpa penegakan cuma formalitas.
Pandangan Jefferson NG tentang Politik & Partai
(Ringkasan formal berdasarkan pernyataan dalam podcast, menit 18:40–25:30 & 38:10–40:50)
Dalam analisisnya dalam podcast tersebut, Jefferson NG, kandidat doktor ilmu politik di Australian National University, memandang bahwa partai politik bukan sebagai sumber korupsi secara inheren, melainkan sebagai aktor rasional yang perilakunya ditentukan oleh insentif struktural. Ia mengambil contoh Singapura sebagai model ideal, di mana partai politik justru menjadi pilar utama pencegahan korupsi.
1. Partai sebagai Penjaga Citra dan Kompetensi
Di Singapura, People’s Action Party (PAP) —yang telah berkuasa sejak kemerdekaan— menjadikan integritas sebagai identitas politik utama. Menurut Jefferson, anggota PAP memiliki motivasi intrinsik untuk menjaga perilaku bersih" karena: Bagi PAP, menjaga citra bersih adalah strategi kelangsungan kekuasaan. Faktor ini disebutnya sebagai “Party Factor” dalam kerangka tiga pilar anti-korupsi (Price, Party, Institution).
2. Kontras dengan Sistem Kepartaian di Indonesia
Berbeda dengan Singapura, Jefferson mengamati bahwa partai politik di Indonesia cenderung berfungsi sebagai perisai bagi kader yang terlibat korupsi, bukan sebagai pengawas internal. Ia mencontohkan: Kasus-kasus korupsi berskala besar (seperti pengadaan bansos atau proyek infrastruktur) sering kali dilindungi oleh afiliasi partai. Partai lebih mengutamakan solidaritas kader daripada akuntabilitas publik, sehingga melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem politik. Akibatnya, partai tidak berfungsi sebagai agen perubahan, melainkan sebagai wadah kepentingan oligarkis.
3. Rekomendasi Reformasi Partai di Indonesia
Jefferson menawarkan tiga langkah konkret agar partai politik menjadi bagian dari solusi anti-korupsi:
a. Adanya Piagam Anti-Korupsi Internal: Setiap partai wajib memiliki dokumen resmi yang mengikat, misal kader yang terbukti korupsi diberhentikan seumur hidup dari keanggotaan partai.
b. Audit Kekayaan Independen: Laporan harta kekayaan kader sebelum dan sesudah menjabat diaudit oleh lembaga independen (bukan hanya KPK), dengan hasil dipublikasikan secara berkala.
c. Sanksi Partai yang Lebih Cepat: Jika proses hukum negara berjalan lambat, partai harus mampu memecat kader terlebih dahulu sebagai bentuk sanksi internal yang berdampak pada elektabilitas.
4. Interaksi Partai dan Institusi
Jefferson menegaskan bahwa keberhasilan Singapura tidak terlepas dari sinergi antara partai yang kuat secara etika dan institusi yang efisien. Sebaliknya, di Indonesia, “Partai (banyak) yang lemah secara moral dan institusi yang tumpang tindih (KPK, kepolisian, kejaksaan) saling melemahkan, bukan saling memperkuat.”
Kesimpulan Jefferson
Bahwa “Partai politik bukanlah masalah utama dalam korupsi. Yang menentukan adalah: apakah partai memiliki insentif untuk bersih, atau justru insentif untuk melindungi praktik korup?” Ia menyarankan bahwa reformasi internal partai politik harus menjadi prioritas pertama sebelum memperkuat lembaga penegak hukum, karena merekalah yang mengusung calon pemimpin ke dalam sistem kekuasaan. (Jkt, 01/11/25 refine 06/11/25)
Catatan:
Piagam Anti-Korupsi Internal adalah istilah dari dokumen resmi, tertulis, dan mengikat secara hukum yang dibuat, disahkan, dan ditegakkan oleh setiap partai politik secara mandiri sebagai kode etik khusus untuk mencegah, mendeteksi, dan menindak korupsi di kalangan kader, pengurus, dan calon pejabat publik.
Dokumen ini bukan sekadar deklarasi moral, melainkan mekanisme operasional yang berfungsi sebagai "hukum mini" di dalam partai, dengan tujuan menciptakan insentif internal untuk bersih — sesuai prinsip Jefferson NG bahwa partai harus menjadi pengawas pertama, bukan pelindung korupsi.
Corruption Perceptions Index (CPI) tahun 2024 untuk Singapura, Malaysia, Vietnam, Filipina, dan Indonesia serta China | ||
|---|---|---|
Negara | Peringkat (dari 180) | Skor (0–100) |
Singapura (PM) | 3 | 84 |
Malaysia (PM) | 57 | 50 |
Vietnam (PM) | 88 | 40 |
Indonesia (Pres) | 99 | 37 |
Filipina (Pres) | 114 | 33 |
China (Presiden) | 76 | 43 |
Catatan:
- Sistem presidensial menempatkan presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan yang dipilih langsung oleh rakyat. Sementara dalam sistem parlementer, ada perbedaan peran di mana presiden umumnya menjadi kepala negara (seringkali simbolis) dan perdana menteri adalah kepala pemerintahan yang dipilih oleh parlemen, memimpin kabinet dan bertanggung jawab kepadanya.
- Sistem pemerintahan China menggunakan presiden sebagai kepala negara dan perdana menteri sebagai kepala pemerintahan bertanggung jawab atas kabinet (Dewan Urusan Negara, di mana kekuasaan tertinggi berada pada presiden.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik (UU Partai Politik), yang merupakan perubahan atas UU Nomor 2 Tahun 2008, merupakan kerangka hukum utama yang mengatur pendirian, fungsi, dan operasional partai politik di Indonesia. UU ini menekankan peran partai sebagai organisasi nasional yang dibentuk secara sukarela untuk memperjuangkan kepentingan politik rakyat, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Namun, ketika dikaitkan dengan rekomendasi Jefferson NG—seorang peneliti ilmu politik yang menyoroti pentingnya piagam anti-korupsi internal partai sebagai instrumen pencegahan korupsi—UU Partai Politik tampak masih bersifat normatif dan kurang operasional. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang relevansinya di tengah maraknya kasus korupsi yang melibatkan elit partai, seperti yang tercermin dalam laporan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Indonesia Corruption Watch (ICW).
Kebutuhan Reformasi UU Parpol
Mengingat dinamika politik Indonesia pasca-reformasi—di mana partai sering menjadi "episentrum korupsi" akibat oligarki dan lemahnya tata kelola—UU Partai Politik perlu direformasi untuk selaras dengan rekomendasi Jefferson. (ejurnal.politeknikpratama.ac.id).
Rekomendasi terkini dari Transparency International Indonesia (Mei 2025) mendukung hal ini: revisi UU untuk mewajibkan laporan keuangan terbuka, audit independen, dan transparansi sumbangan, guna mencegah reproduksi korupsi oligarkis.
Reformasi ini sangat krusial di era kepemimpinan baru (sejak 2025), untuk menghindari UU yang "hanya formalitas" seperti yang ditekankan Jefferson. Tanpa perubahan, UU Partai Politik berisiko memperlemah demokrasi, di mana partai gagal sebagai agen perubahan anti-korupsi.
Kerangka Hukum Partai Politik di Singapura: Perbandingan dengan Rekomendasi Jefferson NG dan Model China
Dalam konteks rekomendasi Jefferson NG mengenai piagam anti-korupsi internal partai politik—seperti sanksi pemecatan seumur hidup bagi kader korup, audit kekayaan independen berkala, dan sanksi partai yang cepat—Singapura tidak memiliki undang-undang khusus tentang partai politik yang secara eksplisit mengikat dengan ketentuan semacam itu. Sebaliknya, sistem anti-korupsi di Singapura lebih mengandalkan kerangka umum yang diterapkan secara seragam pada semua entitas, termasuk partai politik, melalui undang-undang anti-korupsi nasional.
Hal ini kontras dengan model China, di mana Partai Komunis Tiongkok (PKT) memiliki peraturan disiplin internal yang ketat dan mengikat secara spesifik, seperti Peraturan Tindakan Disiplin PKT 2018.
1. Singapura: Tidak memiliki UU Khusus Partai Politik dengan Ketentuan Anti-Korupsi Internal
Singapura mengatur aktivitas partai politik melalui Parliamentary Elections Act (Cap. 218), yang fokus pada registrasi, pendanaan kampanye, dan pemilu, serta Political Donations Act (Cap. 236), yang mengawasi sumbangan politik untuk mencegah pengaruh korup.
Kerangka Anti-Korupsi Umum yang Berlaku pada Partai (lihat link penjelasan & situs masing-masing ini di bawah)
Prevention of Corruption Act (PCA) 1960 (Cap. 241): Undang-undang utama anti-korupsi yang melarang suap aktif dan pasif di sektor publik dan swasta, termasuk pejabat partai. Pasal 5 dan 6 PCA secara eksplisit melarang gratifikasi (termasuk suap, hadiah, atau komisi) yang diberikan atau diterima untuk memengaruhi tindakan resmi. Hukuman: Denda hingga SGD 100.000 (sekitar Rp 1,2 miliar) atau penjara hingga 5 tahun per kasus. PCA memiliki yurisdiksi ekstrateritorial (Pasal 37), sehingga berlaku pada warga Singapura yang korup di luar negeri.
Penal Code (Cap. 224): Melengkapi PCA dengan larangan suap pejabat publik (Pasal 161–165), termasuk anggota parlemen atau "public body" (seperti partai yang terlibat urusan publik).
Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB): Lembaga independen di bawah Perdana Menteri yang menyelidiki semua kasus korupsi tanpa pandang bulu, termasuk politisi. CPIB bertanggung jawab atas penegakan PCA, dan tidak ada pengecualian untuk afiliasi politik.
2. China: Model Peraturan Disiplin Internal yang Mengikat dan Spesifik. .... terusan sesudah tabel di bawah....
(Jkt, 02/11/25)
UU Partai Politik mengandung ketentuan normatif yang mendukung integritas, tetapi tidak secara spesifik mengatur mekanisme internal anti-korupsi. Beberapa pasal relevan meliputi:
Pasal Relevan | Isi Utama | Karakter Normatif |
|---|---|---|
Pasal 2 | Partai wajib memelihara keutuhan NKRI dan berfungsi sebagai wadah partisipasi politik yang demokratis. | Menekankan prinsip umum, tanpa sanksi spesifik untuk pelanggaran integritas. |
Pasal 20–22 | Partai bertanggung jawab atas kaderisasi, pendidikan politik, dan pengelolaan keuangan yang transparan, termasuk pelaporan sumbangan. | Mewajibkan transparansi keuangan, tetapi tidak mengharuskan piagam internal atau audit independen berkala. |
Pasal 40 | IPartai dilarang mendirikan badan usaha atau memiliki saham untuk mencegah konflik kepentingan.. | Pencegahan normatif, tetapi tidak mencakup sanksi internal seperti pemecatan seumur hidup bagi kader korup. |
1. Ketentuan ini selaras dengan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang mewajibkan pelaporan dana kampanye (misalnya, Laporan Awal Dana Kampanye/LADK). Namun, seperti yang dikritik ICW, implementasinya lemah: partai sering permisif terhadap mantan terpidana korupsi, seperti kasus Anas Urbaningrum (ditetapkan sebagai Ketua Umum Partai Kebangkitan Nusantara pada 2023, meski baru bebas dari hukuman korupsi Hambalang) (antikorupsi.org).
2. Data KPK menunjukkan bahwa sejak 2019 hingga 2023, 13 kader Golkar, 8 dari PDI-P, dan puluhan dari partai lain terjerat korupsi, menandakan rendahnya komitmen internal. (katadata.co.id)
Jefferson NG merekomendasikan reformasi partai sebagai "langkah pertama" pencegahan korupsi, dengan fokus pada insentif internal agar partai berfungsi sebagai pengawas diri sendiri (bukan pelindung korupsi).
Rekomendasi Jefferson | Kesesuaian dengan UU Partai Politik Indonesia Saat Ini | Potensi Ketidakrelevanan |
|---|---|---|
Piagam Anti-Korupsi Internal | Tidak ada kewajiban eksplisit; hanya prinsip umum di Pasal 20 tentang pendidikan politik. | UU normatif, tanpa pengikatan hukum untuk dokumen internal yang mengatur pemecatan seumur hidup kader korup. |
Audit Kekayaan Independen Berkala | Pelaporan keuangan diwajibkan (Pasal 22), tapi diaudit oleh Kementerian Hukum dan HAM, bukan lembaga luar independen. | Kurang operasional; tidak mencakup perbandingan kekayaan sebelum/sesudah jabatan, seperti yang disarankan Jefferson. |
Sanksi Partai yang Cepat | Sanksi bergantung pada UU Pemilu atau KPK; partai tidak diwajibkan bertindak lebih dulu. | Partai sering melindungi kader (contoh: Romahurmuziy di PPP), bertentangan dengan "insentif bersih" ala Singapura. |
Jefferson NG merekomendasikan reformasi partai sebagai "langkah pertama" pencegahan korupsi, dengan fokus pada insentif internal agar partai berfungsi sebagai pengawas diri sendiri (bukan pelindung korupsi).
2. China: Model Peraturan Disiplin Internal yang Mengikat dan Spesifik
Berbeda dengan Singapura, China memiliki sistem partai tunggal di mana PKT mengatur dirinya sendiri melalui peraturan internal yang ketat, termasuk ketentuan anti-korupsi yang langsung mengikat anggota partai.
Ini selaras dengan rekomendasi Jefferson tentang sanksi internal cepat dan piagam mengikat.
Peraturan Tindakan Disiplin Partai Komunis Tiongkok (PKT) 2018 (diterbitkan 26 Agustus 2018 oleh Komite Sentral PKT, revisi dari 2015):
Ruang Lingkup: Mengatur pelanggaran disiplin partai, termasuk korupsi, suap, penyalahgunaan kekuasaan, dan pelanggaran etika sosial (Pasal 7). Fokus pada kasus pasca-Kongres PKT ke-18 (2012), termasuk korupsi yang melibatkan isu politik-ekonomi dan umpan balik publik kuat.
Ketentuan Anti-Korupsi Utama Peraturan Tindakan Disiplin Partai Komunis Tiongkok (PKT) 2018 dan revisinya:
(Jkt, 02/11/25)
Pasal Relevan | Ketentuan | Sanksi |
|---|---|---|
Pasal 27 | Jika ditemukan dugaan kejahatan seperti korupsi, suap, penyalahgunaan kekuasaan, atau pemborosan aset negara selama penyelidikan disiplin. | Pemecatan dari jabatan partai, masa percobaan keanggotaan, atau pengusiran permanen dari partai. |
Pasal 29 | Pelanggaran serius yang dicurigai pidana: Putuskan sanksi partai terlebih dahulu, lalu serahkan ke lembaga negara untuk penuntutan hukum | Pengusiran dari partai + tuntutan pidana. |
Pasal 80 (revisi 2023) | Menolak bersaksi atau memberikan kesaksian palsu selama investigasi anti-korupsi. | Sanksi disiplin berat, termasuk pengusiran. |
Catatan: Penegakan: Ditangani oleh Central Commission for Discipline Inspection (CCDI), yang independen tapi di bawah kendali PKT. Sejak 2012, lebih dari 1,4 juta anggota partai dihukum, termasuk "shuanggui" (penahanan internal) untuk pengakuan korupsi. Revisi 2018 menekankan loyalitas terhadap Xi Jinping dan implementasi kebijakan partai, dengan sanksi untuk "kelonggaran" anti-korupsi.
Aspek | Singapura | China (PKT 2018) |
|---|---|---|
UU/Regulasi Khusus Partai | Tidak ada; bergantung PCA umum | Ya; peraturan internal PKT yang mengikat. |
Sanksi Internal | Reputasi + sanksi ad hoc; tidak eksplisit seumur hidup. | Pemecatan/pengusiran permanen untuk korupsi. |
Fokus | Meritokrasi & zero tolerance nasional.. | Loyalitas partai & anti-korupsi politik. |
Catatan: Penegakan: Ditangani oleh Central Commission for Discipline Inspection (CCDI), yang independen tapi di bawah kendali PKT. Sejak 2012, lebih dari 1,4 juta anggota partai dihukum, termasuk "shuanggui" (penahanan internal) untuk pengakuan korupsi. Revisi 2018 menekankan loyalitas terhadap Xi Jinping dan implementasi kebijakan partai, dengan sanksi untuk "kelonggaran" anti-korupsi.