Investigasi Al Jazeera terhadap 
Kejahatan Perang di Gaza Rentang Waktu Setahun 
(dalam Film Dokumenter)

Takasitau dari Al Jazeera

Suatu video panjang berdurasi 1 jam 20 menit 59 detik, mengungkap investigasi yang dilakukan Unit Investigasi Al Jazeera - @AJIunit terhadap  kejahatan perang di Gaza melalui media foto dan video yang diposting online oleh tentara Israel sendiri maupun warga Palestina di pendudukan selama konflik yang telah berlangsung selama setahun. I-Unit telah membangun database ribuan (sekitar 2500) video, foto, dan postingan media sosial. Jika memungkinkan, pihaknya telah mengidentifikasi poster dan orang-orang yang muncul.


Materi tersebut mengungkap serangkaian aktivitas ilegal, mulai dari perusakan dan penjarahan yang tidak disengaja hingga penghancuran seluruh lingkungan dan pembunuhan. Film ini juga menceritakan kisah perang dari sudut pandang jurnalis Palestina, pekerja hak asasi manusia, dan penduduk biasa di Jalur Gaza. Dan hal ini memperlihatkan keterlibatan pemerintah Barat – khususnya penggunaan RAF Akrotiri di Siprus sebagai basis penerbangan pengawasan Inggris di Gaza.


Barat tidak bisa bersembunyi, mereka tidak bisa mengklaim ketidaktahuan. Tidak ada yang bisa mengatakan bahwa mereka tidak tahu,” kata penulis Palestina, Susan Abulhawa. Ini adalah “genosida yang disiarkan secara langsung dalam sejarah… Jika orang tidak tahu, maka mereka sengaja tidak tahu,” katanya.


Demikian kutipan dari halaman Youtube dari Film yang disebarkan untuk publik "Investigating war crimes in Gaza I Al Jazeera Investigations". diterbitkan Al Jazeera English, dan pada tanggal 3 Oktober 2024 telah ditonton oleh 716,835 pengunjung.  Tiga komentar di bawah ini mewakili suasana hati dan pikiran penontonnya setelah menyaksikan film dokumenter ini:


1. Salah satu komentar dari warga Italia, @andreabo6833 (3 hari yang lalu (diedit)): "Sebagai orang Italia, Eropa, suami dan ayah dari tiga anak, saya sangat terkejut dengan film dokumenter Anda. Saya telah mengikuti situasi ini sejak awal, namun menyaksikan 80 menit tindakan tidak berperikemanusiaan ini sungguh merugikan saya. Saya merasa sedih dalam 12 bulan terakhir, dengan membaca laporan tentang keluarga yang hancur, anak-anak yang menjadi yatim piatu, rumah sakit yang hancur, serta masalah kelaparan dan kesehatan, namun saya tidak siap untuk menanggung laporan yang jujur mengenai hal tersebut. Masih menangis untuk kalian semua saudaraku. Saya seorang atheis namun sekarang saya berharap bahwa ada Tuhan yang benar yang akan memberi pahala, di akhirat, orang-orang tak berdosa yang terbunuh dan akan menghukum keras para pelaku tindakan tidak berperikemanusiaan tersebut. Andrea."


2. @JUSTABITOFSHORTS (4 hari yang lalu) - "Saya berusia 20 tahun hari ini, dan saya berdiri sebagai saksi atas apa yang dunia tidak mau hentikan. Saya pernah melihat anak-anak menangis, seorang gadis mencoba mendorong saudara laki-lakinya yang cacat melewati reruntuhan, seorang ibu menyaksikan putranya meninggal di depan matanya. 


Saya telah menyaksikan kengerian para tahanan yang dilanggar di depan mata dunia, dan anak-anak yang ditinggalkan tanpa rumah, tanpa harapan. Tidak ada satu negara atau bangsa pun yang melakukan intervensi.

Saya memberikan kesaksian tentang hal ini, dan kepada generasi mendatang, saya akan katakan - Saya melihat anak-anak mengantri untuk mendapatkan makanan dan air, hanya untuk dituntun menuju kematian. Orang-orang disuruh pergi ke tempat aman, namun mereka hancur berkeping-keping. Saya menyaksikan rumah sakit, sekolah, dan universitas dihancurkan, sementara para pelakunya tertawa dan menari kegirangan.


saya menyaksikan.  saya menyaksikan.  Saya menyaksikan  — dan saya akan berdiri sebagai saksi sampai nafas terakhir saya. Palestina, kamu mungkin tidak ada dalam DNA saya, tetapi kamu dibangun di dalam diri saya. Aku akan berdiri tegak untukmu melawan ketidakadilan ini. Maafkan kurangnya kekuatanku untuk melindungimu, tapi aku akan menggunakan suaraku selamanya."



3. @hudasabr (2 hari yang lalu) - :Ini sungguh memilukan untuk ditonton. Harus ditonton oleh semua orang. Kerja luar biasa dari AJ."


Mungkin bagi sebagian orang, tontonan semacam ini bisa disaksikan di Tiktok dan media X yang memang hanya sedikit filternya, namun kemudian hari-hari terakhir ini, pembungkaman akun mulai sering dilakukan. Media mainstream Barat, sensor dan bahkan berita bias sering dilakukan ketika memberitakan sepak terjang kekejian Zionis Israel. Oleh sebab itu film Al Jazeera ini sangat mengguncang mereka yang pertama kali melihat videonya. Banyak film divideokan oleh pelaku kejahatan mereka sendiri dan di-publish di sosial media mereka, mungkin suatu kebanggaan atau kesenangan bagi mereka. 


Melihat film dokumenter yang diberi narasi dari para ahli, pelaku dan komentator dari cerita yang bersambung ini cukup memberi gambaran menyambung dari bingkai kejadian dan cukup berbeda dari apa yang telah kita baca, lihat dan tonton di media atau bahkan di media tiktok dan X, dalam penyajian cerita yang runut. 


Berita Bias di Media Mainstream


Al Jazeera pada tanggal 5 Oct 2024, mengangkat artikel: 'Failing Gaza: Pro-Israel bias uncovered behind the lens of Western media", melaporkan tentang keadaan di dalam ruang redaksi mereka di CNN dan BBC, bagaimana bias berita pro-Israel yang terpapar di media Barat. Sepuluh jurnalis yang telah meliput perang di Gaza untuk dua jaringan berita terkemuka di dunia, CNN dan BBC, telah mengungkapkan cara kerja ruang berita mereka mulai tanggal 7 Oktober dan seterusnya, dengan tuduhan bias pro-Israel dalam peliputan, standar ganda yang sistematis dan seringnya pelanggaran prinsip jurnalistik


Dalam salah satu contoh di CNN, propaganda palsu Israel tetap disiarkan meskipun sudah ada peringatan sebelumnya dari anggota staf. Adam eks staf CNN (nama samaran) mengatakan bahwa: “Tetapi setelah tanggal 7 Oktober, betapa mudahnya saya melihat berita yang mendukung narasi Israel benar-benar mengguncang saya,” katanya dalam film tersebut. “Ada saat-saat di mana CNN dengan senang hati berusaha keras. Namun sayangnya, sangat jelas di mana kita berbohong. Dan itu tidak sepenuhnya benar.”


Begitupun Sara*, mantan jurnalis BBC (nama samaran), menuduh stasiun televisi Inggris tersebut menerapkan standar ganda dalam mewawancarai tamu. Dia mengatakan kepada Al Jazeera bahwa dia tidak lagi melihat masa depannya di BBC, sebagian karena “keengganan para eksekutif” untuk mengatasi kekhawatiran seputar bias editorial. Beberapa hari setelah tanggal 7 Oktober, BBC mengadakan obrolan grup internal di mana produser dapat menyaring calon narasumber berdasarkan jejak online mereka.


Kebanyakan tamu dari pihak Palestinalah yang diselidiki,” katanya. “Warga Palestina [sedang] ditandai karena menggunakan kata Zionis, padahal hal ini bukanlah sesuatu yang perlu ditandai.” Dia mengatakan bahwa “kadang-kadang” tamu-tamu Israel diperiksa. “Tetapi tidak ada keseimbangan dalam apa yang sedang terjadi. Juru bicara Israel yang kami miliki diberi banyak kebebasan untuk mengatakan apa pun yang mereka inginkan dengan sedikit penolakan,” katanya.


Namun sebenarnya, jauh hari sebelumnya, pun terjadi bias berita di media Barat. The Intercept, 12 Januari 2019, mengangkat artikel: Study: U.S. Newspapers Are More Than Twice As Likely to Cite Israeli Sources in Headlines Than Palestinian Ones. Suatu studi menganalisis berita utama selama 50 tahun mengenai konflik Israel-Palestina dan menemukan kecenderungan yang sangat besar terhadap sudut pandang Israel. 


Pada puncak perang tahun 2014 antara militer Israel dan faksi-faksi Palestina di Jalur Gaza, New York Times memuat artikel berjudul, “Israel Mengatakan Hamas Menggunakan Perisai Sipil, Menghidupkan Kembali Perdebatan.” Pernyataan tersebut jelas merujuk pada ratusan warga sipil Palestina yang telah terbunuh dalam serangan Israel pada saat perang tersebut. Tidak ada pertanyaan tentang siapa yang membunuh mereka, namun bahasa yang digunakan mengalihkan topik ke “debat” tentang siapa sebenarnya yang bertanggung jawab. Beberapa minggu sebelumnya, setelah serangan udara Israel menewaskan beberapa penggemar sepak bola Palestina, Times memuat judul yang tidak masuk akal, “Rudal di Kafe Tepi Pantai Gaza Menemukan Pelanggan yang Siap untuk Piala Dunia,” yang kemudian mengubah judul berita tersebut karena rasa jijik yang meluas di media sosial.


Judul penting. Sebagaimana telah berulang kali ditunjukkan oleh penelitian, ketika ingin menjangkau masyarakat umum, kata-kata di bagian atas halaman mungkin sama pentingnya, atau bahkan lebih, dibandingkan dengan teks artikel itu sendiri — yang membuat banyak penulis kecewa. Dalam kasus konflik Israel-Palestina, berita utama yang tidak pantas, menyesatkan, dan bias seperti yang muncul di New York Times selama Perang Gaza tahun 2014 sudah menjadi hal yang umum.


Kesimpulan dari studi baru bertajuk “50 Tahun Pendudukan” yang diterbitkan oleh 416Labs, sebuah firma riset dan analisis data yang berbasis di Kanada. Entitas ini menganalisis hampir 100.000 berita utama tentang konflik di media Amerika selama lima dekade terakhir dan menemukan bahwa sudut pandang Israel lebih banyak ditampilkan dibandingkan sudut pandang Palestina, dan bahwa referensi tentang pengalaman Palestina sebagai “pengungsi” atau hidup di bawah “penjajahan” terus menurun.


Akhir Artikel


Bagaimapun bias berita sering menyesatkan oleh berbagai media mainstrean Barat: CNN, BBC, New York Time, dan lain sumber berita. Bahkan media sosial terkenal: Facebook, Instagram, Youtube, sering menyensor dan bahkan men-take down berita yang merugikan Israel. Media Barat telah gagal untuk mengambil di posisi yang benar dari sejarah dengan bertindak menutupi kejahatan Israel di Gaza. Berita palsu, disinformasi, bias pro-Israel secara maksimal.


Karena itu film dokumenter dari Al Jazeera seperti membukakan mata warga yang berada di negara Barat, bahwa kejadian korban sipil  begitu besar dalam skala dan kekejamannya. Zionis terus mempropagandakan tuduhan anti-semit dan selalu menganggap dirinya menjadi korban.



(Takasitau, Jkt 08/10/24 - update 09/10/24 - refined 15/10/24)